Andai saya
Huibert—yang dulu terkenal di media sosial gara-gara
mobil
Ichiro-nya dilengkapi bumper gede untuk menabrak pelanggar aturan di
jalan dan kamera depan belakang untuk merekam aktivitasnya selama ia pergi dari
rumah ke kantor—akan saya lengkapi Colt saya ini dengan perlengkapan kamera yang
memadai. Memang, Colt saya sudah dilengkapi dengan TOA sejak lama yang berguna sebagai
klakson yang menurut saya lebih manusiawi daripada klakson elektrik bawaan
pabrik. Lalu, kamera, untuk apa? Baik, ikuti saja…
Ahad lalu, 24 Juli 2016, berkisar pukul 08.40, saat saya
berangkat ke Bangkalan naik Colt. Ketika sampai di daerah Pakamban, saya
mengekor patas tua AKAS yang baru saja berjalan lagi setelah entah menaikkan
atau menurunkan penumpang di kantor MWC NU Pragaan. Menghadapi jalan menanjak,
asapnya bergulung dan sebagiannya masuk ke dalam kabin Colt yang saya
kemudikan. Pasalnya adalah kaca depan-samping, kanan dan kiri, pada mobil kami
terbuka semua. Yeah, serasa kami mandi sauna, berlumur oksidan dan emisi gas
buang.
Dari arah depan, tampak truk Hino bermuatan berat. Itu
ketahuan dari cara jalannya yang ngesot sangat. Truk ini bermuka hijau seperti
HULK, buto ijo-nya wong Londo.
Meskipun begitu, saya merasa tampang si Hino ini tidaklah
seram, tidaklah seperti tampang Volvo atau M.A.N.
Sebentar lagi, kami akan berpapasan. Dan pada saat iulah
terjadi aksi dramatis…
Sebuah motor matic menyalip kami secara rentengan: bis dan
Colt. Ketika mungkin tinggal sepelompatan saja untuk terjadi adu kambing,
pengendara motor mendadak serong kiri, menggunting jalan. Saya taksir, jarak
sepeda motor dengan moncong bis cuma semeter, kalaupun lebih pastilah hanya
ukuran senti. Terdengar bunyi klakson panjang: morse jalanan simbol amarah atau
memaki-maki.
Sekarang, ketika tiba di trek datar, bis dan Colt
mendahuluinya kembali karena si pemotor memang masih seperti tadi, berjalan
pelan dan santai sekali. Ya, ia memang berjalan pelan sejak tadi dan menyalip
kami hanya karena ia melaju sedikit lebih cepat daripada kami yang melaju lebih
pelan karena adanya tanjakan. Rasanya saya tidak percaya pada mata sendiri
begitu menyaksikan pengendara sepeda motor itu ternyata masih bergaya macam
tadi: tangan kanan pegang kemudi, tangan kiri nempel di telinga kiri,
telepon-teleponan.
Dia, lelaki yang membonceng seorang ibu-ibu yang juga
menggendong adik bayi itu, memiliki air muka yang luar biasa datar, tampak tak
ada urusan dengan apa yang baru saja dilakukannya. Bagaimana mungkin ada orang
berani menyalip mobil dan bis sekali tarikan padahal dalam keadaan berhadapan
satu lawan satu dengan truk dan itupun sambil telepon-teleponan? Sebuah aksi
yang bahkan Jorian Ponomareff pun tidak akan berani melakukannya di jalan raya.
Saya menyesal tidak sempat mengabadikan momen ini. Saya
menyesal karena tidak punya kamera tempel yang siap menjepret. Kalaupun saya
ambil kamera, pemandangan drama jalan raya ini pastilah sudah terlewat karena
ia hanya terjadi beberapa detik saja. Mungkin, situasi seperti inilah yang
dimaksudkan oleh George Steinmetz, bahwa tugas jurufoto itu adalah menjalankan
tugas memotret objek/perisitwa yang dapat membuka mata orang-orang agar melihat
hal-hal menakjubkan yang tidak mereka ketahui pernah ada di dunia.
Hingga mencapai Sentol, saya bertanya-tanya, mengapa orang
semacam itu eksis di muka bumi. Sungguh, saya hanya mereka-reka: barangkali,
nyawa yang dibawa oleh si pengendara motor tadi itu hanyalah ‘nyawa KW’
sedangkan yang ditinggal di rumahnya adalah ‘nyawa yang ORI’.
Satu adegan maut nyaris terjadi.
Saya mencapai kota
Pamekasan pada pukul 9 pagi lewat entah berapa menit. Setelah parkir, istri
membeli kebutuhan keluarga, kebutuhan dapur. Mumpung lewat kota, sekalian belanja, begitulah rumusnya. Kami
berangkat lagi menuju Bangkalan tak lama setelah itu. Jalanan tidak terlalu ramai,
tidak seperti yang dialami keluarga kami yang lain yang berangkat sesudahnya,
yang berangkat setelah Duhur, sebagaimana mereka ceritakan, sehingga sebagian mereka
pada akhirnya datang terlambat ke acara.
Untuk tujuan Bangkalan, biasanya kami memang berangkat 3
atau 4 jam sebelum acara karena begitulah taksiran jarak tempuhnya. Jika ada
sisa waktu, biasanya digunakan untuk mampir di famili (seperti di Burneh,
Ketengan, dan sekitarnya) atau mampir shalat dan istirahat. Saya pun begitu, berangkat
kurang beberapa menit dari pukul 9 pagi dari rumah karena punya rencana sowan
dulu ke Sunan Cendana di Kwanyar.
Setiap kali melakukan perjalanan, dapat dipastikan saya
selalu stres memikirkan dan melihat aksi-aksi nekat di jalan raya. Mengapa
orang begitu tenang dan tak merasa bersalah dalam melakukan
pelanggaran-pelanggaran, ya? Di Blega, saya kembali melihat objek foto yang
sangat menarik: sebuah mobil parkir serong dan memakan seperempat jalan.
Sepintas, ia tampak seperti mobil yang sedang mogok, padahal tidak. Ia parkir
biasa. Lagi-lagi saya menyesal karena saya kehilangan momen menakjubkan untuk
yang kedua kalinya.
Tadi, kami juga sempat papasan dengan rombongan motor Ninja.
Saya selalu takut kalau bertemu arak-arakan, konvoi, baik rombongan motor kecil
atau motor gede, jamaah haji, rombongan menteri, apalagi ada voorijder
alias patwal yang biasanya suka makan jalan. Menghadapi mereka ini, sudah pasti
saya bersiah, mengalah. Tadi malah ada salah satu anggotanya yang mengangkat
kaki kanan, seperti sedang menendang. Saya ngerti, itu artinya meminta
kendaraan dari arah yang berlawanan supaya menepi.
Pukul 11.45, saya mencapai SPBU 54691.01 Blega. Ini termasuk
SPBU lama. Setelah isi 100 ribu, kami berangkat lagi ke arah barat. Sempat
terjadi ketersendatan arus lalu lintas, tapi tidak macet, sehingga kami baru
mencapai Tanah Merah pada pukul 12.23. Saya sein kiri, ke selatan, menuju
Kwanyar.
Setelah izin parkir sama kawan saya yang penduduk Kwanyar, H.
Syaiful Bahri, saya mengajak seluruh anggota penumpang ke makam, mengaji di sana. Singkat saja,
bertemu dan berbasa-basi dengan jurukuncinya, H. Abdul Hadi, kami keluar,
menjumpai Haji Syaiful dan merasakan betapa servis ziarah makam Sunan Cendana
ini benar-benar layanan kelas “bintang lima”.
Bagaimana tidak? Habis dari makam, H. Syaiful menjamu saya
makan, tapi tumben kali ini di warung, biasanya di rumah sendiri.
“Kok saya diajak ke warung?”
“Lah, tadi Sampeyan bilang jangan repot-repot. Makanya saya
ajak ke warung, kalau di warung itu tidak repot, tinggal makan.”
Kami ketawa bersama.
Terus terang, saya ewuh-pekewuh kalau berziarah ke Sunan
Cendana sebab pasti ketemu H. Syaiful dan pasti pula disuguhi makan besar.
Setelah makan sate, kami pun mampir ke rumahnya untuk numpang mandi dan shalat.
Masih pula disuguhi camilan dan kopi di sana,
akhirnya kami meninggalkan Kwanyar pada pukul 14.30. seperti biasa, H. Syaiful
ngasih kami oleh-oleh khas Kwanyar: krupuk yang digoreng pakai pasir, tanpa
minyak.
Dalam perjalanan menuju kota Bangkalan, tepatnya ke area
perumahan Nilam yang terletak persis di depan Bangkalan Plaza, untuk menghadiri
undangan adik saya yang pindah rumah dari Sebaneh ke Mlajah, saya mengarahkan
Colt lewat Tambin dan Tragah. Ujung jalan ini adalah Nyiorondung, jalan pertama
(ke arah tenggara) dari arah Suramadu kalau Anda datang dari barat. Adapun
tadi, saya masuk Kwanyar lewat Tanah Merah, ngiri sebelum pasar, lewat Somor
Koneng.
Jalanan di wilayah Tragah ini sangat sepi. Saya tidak menyarakankan
Anda melintasinya di kala petang apalagi malam. Jarang sekali ada rumah
penduduk di sejauh 12 kilometer tersebut. Di lintasan ini, jalan yang sangat
sepi, justru saya bertemu macet karena iring-iringan temanten. Jadinya,
perjalanan molor lumayan lama karena percepatan mobil hanya bergerak antara 2
dan 3, berjalan seperti siput.
Sebetulnya, saya sudah matur kepada ibu, mengapa acara pindah
rumah ini mengundang orang terlalu jauh, hingga Guluk-Guluk.
“Apa tidak terlalu jauh, Bu?” tanya saya. “Saya pikir,
undangan ke Bangkalan yang harus ditempuh 3 jam dan melakoni jarak 250-an
pergi-pulang itu terlalu jauh untuk keluarga jauh, beda dengan keluarga
sendiri.”
“Itu sebenarnya tergantung adikmu, tapi yang membuatku tetap
membiarkan adikmu bikin undangan begitu karena memang ada beberapa saudara yang
pesan jauh hari supaya diundang kalau bikin acara selamatan pindah rumah,”
balas Ibu. “kata mereka supaya sekalian tahu tempat, sekalian silaturrahmi, sekalian
pula datang sebagai udangan,” imbuhnya.
“Oh, entahlah jika begitu.”
Tidak disangka, sepupu, sepupu dua kali, paman, sepupu Ibu,
dan banyak saudara lain dari Sumenep yang berdatangan, entah berapa rombongan
mobil. Wah, mereka heroik sekali, ya. Kata saya dalam hati. Memang, kami
terbiasa pergi jauh untuk menghadiri undangan temanten, tapi untuk undangan
pindah rumah, entahlah, mungkin baru kali ini.
Kami tiba di lokasi ketika undangan baru 2-3 orang saja yang
datang. Benar, acara molor dan baru dimulai hingga lewat pukul 16.00. Acara dimulai
tidak lama setelah tuan rumah, Humron Maula sekeluarga, datang, diiringi
kerabat-kerabatnya. Rupanya, sesuai tradisi setempat, ia berangkat dari rumah
asal menuju rumah barunya.
Sekitar pukul 17.00, acara selesai dan orang-orang pulang,
termasuk keluarga dari Sumenep. Sebetulnya, saya masih hendak bertahan sampai
malam, tapi karena ada tuntutan pulang mendadak, saya pun ikutan pulang bersama
yang lain. Hanya ibu dan saudara saya yang lain yang masih tetap bertahan di sana. Namun begitu,
sebetulnya, kami tidak benar-benar pulang, melainkan hanya meninggalkan tempat
undangan dan hampir semuanya ‘ngetem’ dulu di Bangkalan Plaza.
Ada yang pergi
belanja sementara anak-anak pergi bermain di tempat mainannya.
Saya baru pulang menjelang Isya. Jalan ke arah timur ternyata
padat merayap. Apakah ini efek malam Senin? Boleh jadi. Yang pasti, saya baru bisa
memacu kendaraan hingga berjalan normal di kisaran kecepatan 70-80 km/jam itu
setelah melewati kota
kecamatan Galis. Tak terasa, tiba-tiba kami sudah mencapai Sampang. Suasana
yang tidak panas barangkali juga membantu perjalanan lebih tenang dan tidak
gelisah seperti ketika berangkat.
Melewati Kota Sampang, kami berjumpa dengan Dafir yang bawa
Kijang, sedang parkir shalat di Masjid Du’lanteng, Tanglok. Lanjut, kami baru
berhenti di sebuah toko di Camplong untuk membeli kebutuhan rumah tangga yang
tadi tidak sempat terbeli. Di Tanjung, saya kembali bertemu dengan ‘mobil timur’.
Kali ini dengan Orlando
yang dikemudikan Saung. Meskipun larinya ngibrit, saya berusaha mengejar
semampunya hingga buzzer di balik spidometer menjerit-jerit tak keruan.
Jelaslah saya jauh tertinggal. Jarak bisa dekat jika Saung terhalang oleh
kendaran lain di depannya. Dan kami baru berpisah di SBPU Ambat: saya sein
kiri, dia lanjut saja. Di SPBU itu, saya nambah premium lagi hingga jarum bensin
kembali ke posisi setengah tangki.
Dari sana,
perhentian berikutnya adalah Masjid Tentenan. Kami shalat Maghrib-Isya di sana. Ketemu lagi dengan
Om Zamiel namun ia berangkat duluan ketika saya masih hendak menunaikan shalat.
Eh, setelah selesai, baru saja keluar dari parkiran masjid, ketemu lagi saya
dengan Carry-nya Lek Khalid. Maka, barenglah kami di jalan hingga sampai di
Guluk-Guluk 22.40. Sungguh, perjalanan pergi dan terlebih pulang kali ini sangat
amat menyenangkan.