Rabu-Kamis, 6-7 Oktober 2021
Karena tidak perlu berurusan lagi dengan tuan rumah ataupun costumer service hotel, maka kami bisa dengan mudah meniggalkan pelataran Masjid Al-Aqsha, Kudus, untuk melanjutkan perjalanan pulang, menuju Tuban, ke Sunan Bonang. Sebetulnya, pagi ini saya juga ingin sowan ke Jekulo, menjumpai Bapak Haji Haryanto. Seorang kawan menyarankan agar saya subuhan di sana, di garasi PO Haryanto, karena Pak Haji biasanya ngimami subuh. Tapi, itu jelas sulit bagi saya karena tujuan utama saya adalah berziarah ke Sunan Jakfar Shadiq, dan saya sudah berada di tempat tersebut sejak semalam.
Senyampang kami melakukan perjalanan pulang, sambil lalu saya tetap menjalin kontak dengan si kawan, menanyakan apakah Pak Haji masih di rumah atau sudah berangkat ke Jakarta. Ternyata, saat mobil kami melintasi Jekulo, Pak Haji sudah pergi. Maka, dengan begitu, poin tambahan tidak dapat diambil. “Biar kapan-kapan kita ulangi, kita mampir ke sini,” kata saya pada yang lain, menghibur diri.
Di tengah perjalanan, kami sempat mampir di sebuah warung pinggir jalan untuk membeli air panas dan beberapa centong nasi putih di daerah Pati. Kami memang membawa sangu bubuk kopi dan lauk-pauk. Beberapa kali kali dibawain lontong dan nasi oleh kawan dan kami makan di atas kendaraan. Pagi itu, kami cukup beli nasinya lalu di makan di atas mobil.
Sesudah membuat kopi sambil berjalan, saya pun tidur. Maklum, sedari kemarin malamnya, sejak berangkat dari Purwokerto, saya tidak tidur sama sekali. Sementara Qudsi dan Anam masih lumayan, bisa sekejap terlelap waktu di Kudus.
Pagi itu, suasana alam belum panas. Saya tidak menyalakan AC meskipun di mobil sudah terpasang, hanya sesekali saja jika benar-benar dibutuhkan dan jalanan tidak begitu macet. Soalnya, ada dua kompartemen yang belum dilengkapi, yaitu (1) vacum penarik gas saat AC dinyalakan, dan (2) kipas tambahan jika ada kemacetan. Sejatinya, dalam kondisi mesin panas, gas mobil tidak terlalu kendor meskipun AC dinyalakan, namun temperatur akan naik secara signifikan jika macetnya lama (kalau cuman 10 menit masih mampu karena radiator mobil saya sudah mengadopsi tiga lapis).
Kami sempat ngetem sejenak di sebuah SPBU selepas kota Rembang. Eh, waktu itu saya melakukan siaran langsung di Facebook. Dan berkat siaran inilah, salah satu penontonnya adalah Gus Nadhief Shidqi, kemenkan Gus Mus, langsung menghubungi saya karena beliau tahu kalau saya mengakhiri siaran langung saat masuk SPBU.
Betul, kami ke SPBU di ujung timur kota Rembang tersebut bukan untuk isi bensin, tapi untuk bersih-bersih tubuh dan ganti pakaian dan karena gerah sekali. Agak lama kami di situ hingga Gus Nadhief datang bersama tiga putranya yang cantik dan ganteng. Kami berbasa basi dan foto-foto saja.
“Loh, kok tahu saya di sini?”
“Tadi saya lihat melintas di kota Rembang. Oh. Iya. Gak mau mampir tah?”
“Oh, tidak, terima kasih, Gus. Kami masih mau lanjut, mau pulang. Sudah lama, nih. Saya kangen rumah.”
“Tunggu, ya. Saya mau ke situ.”
“Tahu Sampeyan SPBU-nya?”
“Iya, tahulah. Kiri jalan kalau dari sini.”
Begitulah kronologi ceritanya sehingga kami bertemu. Kalau tak salah, SPBU tersebut adalah SPBU 44.592.15. Pertemuan singkat itu sangat berkesan.
Setelah itu, mobil berjalan lagi dan saya tidak nyopir. Saya tidur dengan berselonjor kaki, di jok tengah, tidur benar dan tidak bangun-bangun. Lasem, Sarang, Sluke... kota-kota tersebut terlewati tanpa sepengetahuan saya. Saya baru bangun beberapa saat sebelum Jenu, hingga kami akhirnya parkir di depan masjid Tuban, sebelah barat alun-alun, pada pukul 10.35.
Suasana di Sunan Bonang lebih hidup daripada tiga tempat makam wali sebelumnya yang kami singgahi. Entah karena siang hari atau karena memang di situ lebih ramai, wallahu a’lam. Toko tenda banyak yang buka. Para pengunjung, tampaknya juga lebih banyak. Ada catatan khusus: ada orang yang suka maksa-maksa jualan minyak—atau peminta-minta di tempat lainnya—adalah termasuk hal yang bikin peziarah kurang enak, kurang pling, termasuk di tempat ini, sangat berbeda dengan di Ampel, Syaikhona Kholil, dan di Maulana Malik Ibrahim.
Cuman, saya kadang khawatir saat menghadapi mereka: kalau menolak, khawatir satu di antara mereka adalah bukan orang sembarang, tepatnya orang istimewa yang menyamar jadi jelata. Makanya, pekewuh kalau menghadapi situasi seperti ini. Sebab, alam sadar kita akan selalu bekerja untuk melihat fenomena empiris, yang nyata, yang kasat mata, yang seperti pada umumnya. Tapi, sungguh ada orang yang bahkan sama sekali tidak mempercayai hal macam itu, yang tidak pernah tahu ada tarekat Mulamatiyah, juga tidak ngeri ada orang yang sedang uji nyali sebelum menjadi wali. Namun, ada pula yang baru percaya setelah berpikir lama, padahal mengambil keputusan dalam situasi seperti itu tidak butuh waktu lama, harus spontan.
Perjalanan siang hari dari Tuban ke Sunan Drajat melewati Jalan Deandels, melewati pesisir utara. Karena sudah melaksanakan shalat duhur-asar di Sunan Bonang, kami lebih santai dalam menempuh ruas pantura yang panas dan terik. Kami sempat berhenti di Brondong untuk menukar receh karena persiapan uang receh sejumalah 80.000-an selama perjalanan sudah habis.
Perjalanan dilanjutkan lagi menuju Sunan Drajat, di Lamongan, dan tiba di sana pada pukul 13.15. Setelah masuk makam dan mengaji, pulangnlah kami. Saat turun dari makam, tiba-tiba saya berpapasan dengan seorang perempuan yang wajahnya sangat mirip dengan almarhumah istri saya. Hati saya berdecak, antara rindu dan deja vu.
“Ndak mampir ke Maulana Ishak dulu?” tanya Gus Ahmad Jauhari saat saya kabarkan kalau kami telah bergerak dari Sunan Drajat ke Panceng, menuju kediamannya, di komplek Madrasah Tabiyatul Wathon, Campurejo.
“Pengennya saya banyak, waktunya yang sedikit,” balas saya.
Perjalanan dari Drajat ke Tarbiyatul Wathon, tempat tujuan kami di Gresik, sangat singkat. Jaraknya juga tidak jauh, hanya 10 kilometeran. Meskipun kabupaten Gresik, tapi rumah Jauhari ini mepet perbatasan Lamongan. Sementara Sunan Drajat secara administratif ada di Kabupaten Lamogan meskipun mepet timur, dekat Gresik. Dan dalam waktu 15 atau 20 menit kemudian, kami pun masuk dan parkir di halaman masjid Tarbiyatul Wathon. Di sana, kami bertemu Jauhari, Lukman, dan beberapa.
Saya sudah berkali-kali tiba di tempat ini, terhitung sejak tahun 2010 yang lalu untuk yang pertama kali. Entah kenapa saya selalu ditakdirkan main ke tempat ini. Barangkali adalah karena di situ ada kawan akrab saya sekaligus adanya magnet dari Mbah Kalbakal (yang menurut KH Abu Bakar—info melalui Jauhari—diduga bernama Sayyid Ali Rihdo). Masa beliau diperkirakan sebelum Walisongo, dan bisa jadi selisipan dengan zaman Fatimah binti Maimun.
Setelah berha-ha-hi-hi, santai, tiduran, kami pun sowan ke Makam Mbah Kalbakal yang letaknya berada di sebelah barat mihrab masjid, dekat sekali. Dari situ, kami balik lagi ke tempat istirahat untuk makan secara lahap. Maklum, siangnya kami tak makan, hanya tadi pagi menjelang siang.
Menjelang mahrib, sekitar pukul lima lewat dikit, kami bergerak ke Gresik. Lagi-lagi, tidur lagi. Istirahat di mobil sejauh ini selalu tidak cukup. Peta digital diarahkan ke Muhajirin Center, Gresik. Tujuan kami selanjutnya, dan ini yang terakhir, adalah menjumpai Ihdal Minan, keponakan saya yang menjadi imam di masjid Muhajirin.
Kami shalat mahrib-isya di sana semabari menunggu Nanang, nama panggilannya, untuk menunaikan tugasnya menjadi imam shalat isya di masjid. Setelah itu, Nanang mengantar kami ke makan Maulana Muhammad Ainul Yaqin atau Sunan Giri dan kami akhiri ziarah Walisongo ini di Makam Maulana Malik Ibrahim.
“Ke mana kita duluan?” tanya saya.
“Terserah.”
“Kita dari awal sudah tidak sesuai presedur. Kalau mau dimulai dari yang paling sepuh, mestinya kita mulai dari Maulana Malik Ibrahim. Tapi, yang kita kunjungi pertama adalah Sunan Ampel karena tempat itu berada di rute paling awal serta mudah dijangkau di awal perjalanan.”
“Jadi?”
“Kita tutup safar ini di Maulana Malik.”
“Yang artinya? Beliau yang paling sepuh tapi dikunjungi terkahir kali?”
“Anggap saja beliau itu ngalah, biasanya kalau yang sepuh selalu ngalah, he, he, he, ...”
Setelah dua kunjungan ke makam Walisongo itu dipungkasi, maka selesai pula tujuan kami keliling Jawa, ke makam wali-wali, khususnya Walisongo. Kini, saatnya kita pulang.
“Tunggu dulu, saya mau nyervis,” Nanang menahan.
“Apa lagi ini?”
“Kita makan di tempat yang enak.”
“Di mana itu?”
"Ade, deh, pokoknya kita makan."
Nanang lalu mengantar kami dengan sedannya. Mobil saya diparkir di depan Muhajirin Centre. Kami bergerak ke sebuah warung bernama Pawon Cabe. Kami semua dihormatinya dengan makan penutup malam. Dan kami pula yang menjadi tamu terakhir di warung itu. Pasalnya, belum lagi kami habiskan sebatang rokok, lampu-lampu di dalam warung sudah mulai dipadakam. Saya cek, jam menujukkan pukul 21.00. Kami kembali ke Muhajirin Centre, bercakap sebentar, lalu pamit pulang.
Perjalanan Colt dari Gresik ke Surabaya dikemudikan oleh Anam. Ia lalu turun di Kedinding, mau nginap di sana karena besoknya dia akan kembali ke tempat tugas mengajarnya di Malang Selatan. Setelah itu, saya melanjutkan perjalanan pulang ke arah timur, berdua saja dengana Qudsi. Dia yang mengemudi dan saya duduk di jok sebelah kiri.
Perjalanan pulang, melintasi ruas Jalan Nasional Rute 21 Madura, berasa sangat biasa. Mungkin, karena rute ini terlalu sering dilewati, beda dengan saat kami berangkat yang memilih jalan pantai utara Madura. Tidak ada cerita lebih dalam perjalanan pulang kecuali rasa bahagia yang muncul dan meletup-letup di antara tubuh yang capek luar biasa. Kami pun tiba di halaman rumah pada hari Kamis, 7 Oktober 2021, pukul 02.40.DATA-DATA
Berangkat Kamis 30 September, sampai Kamis 7 Oktober (2021)
7 hari
163 jam
2346 kilometer
2 x makan di warung
27 tempat persinggahan
Bahan bakar tidak dihitung