Pembaca

31 Maret 2017

Pengajian ke Bandungan, Karduluk


Ditulis 10 September 2015
Diterbitkan 31 Maret 2017 

Dusun Bandungan, tempat pengajian kelompok guru yang kali ini dilaksanakan, lokasi yang sangat terpencil, jauh lebih sulit medannya dari tempat sebelumnya di Brumbung. Sebetulnya, di zaman di mana semua jalan sudah hampir semuanya diaspal, tak ada lagi istilah medan berat. Kami menyebutnya berat hanya karena setiap hari sudah terbiasa lewat di jalan hotmix.

Tuan rumah kali ini adalah “Nyi Mai”, sebutan untuk Maimunah Ilyas. Lokasinya bertempat di LPI Al-Hayyan, Bandungan, dusun paling utara desa Karduluk, berbatasan dengan Kecamatan Ganding. Nyaris tidak terbayangnkan saya bisa tiba di temat terpencil ini. Meskipun jaraknya hanya kurang lebih 5 kilometer dari rumah saya, namun sama sekali saya tidak pernah tahu tempat ini. Semua jalan akses ke tempat ini rusak, sebagian malah ada yang sangat parah dan belum diaspal.

Umumnya, para guru naik sepeda motor. Para guru perempuan membonceng suaminya. Mereka mengikuti pengajian "Risalatul Muawanah". Acara ini adalah acara setengah bulanan yang dilaksanakan oleh guru-guru di lingkungan Madaris III Annuqayah untuk menjalin silaturrahmi dengan para keluarga guru.

Karena jalannya sulit, maka sebagian banyak guru tidak membawa sepeda motor. Mereka numpang mobil, termasuk Colt yang saya bawa. Saya sendiri biasanya membawa sepeda motor (jika berangkat sendirian) untuk jarak dekat dan naik Colt untuk jarak yang lebih (jarak terjauh 25 kilometer; ke kota Sumenep). Belakangan, saya sering bawa Colt karena kami cenderung berangkat rombongan.

Jalan masuk begitu sepi. Sekitar 3 kilometer jauhnya tanpa ada rumah sama sekali. Kanan tebing dan kiri jurang. Pohon-pohon masih tumbuh lebat. Masyarakat setempat umumnya merupakan petani siwalan. Mereka naik siwalan dan membuat kocor (cucur), gula merah, lahang, juga cuka dari niranya.

Begitu pula, hidangan yang tersaji kala itu sangat nikmat sekali karena semuanya berasal dari bahan yang saya sebut, plus ada ubi. Ada ta'al, air siwalan, dan hingga menu penutup yang disajikan berupa campor, sejenis kaldu kacang ijo yang dimasak gurih dan dikasih campuran bihun.

* * *

Nah, pada Kamis 16 Maret 2017, Nyi Mai dapat giliran lagi. Seperti biasa, kami berangkat ke sana menjelang pukul 14.00. Celakanya, saya yang memimpin perjalanan malah kesasar (Tanda-tanda tidak enak sudah muncul sejak awal. Mobil satunya, L300, pecah ban sehingga harus buang waktu beberapa menit).

Nanya ke orang, eh, yang menjawab malah tidak jelas, bahkan menyesatkan. Jawabannya benar, sih, tapi karena berbekal jawaban itu justru kami sampai ke tempat tujuan malah membuat waktu perjalanan jadi jauh lama, satu jam jadinya, padahal saya perkirakan kurang dari 20 menit dalam situasi berjalan normal.

Di sebuah warung, salah satu penumpang kami bertanya.
“Pak, jalan ke rumah Kiai Maklum, ke Al-hayyan, lewat mana?”
“Loh, Sampeyan kok lewat sini?” Malah begitu balasannya.
“Lah, iya, tadi saya salah jalan.”
“Mestinya Sampeyan lewat selatan saja, jalannya mudah, aspal semua.”
“Enggak, Pak. Saya enggak mau balik. Sekarang, yang penting jalan tersingkat saja, di mana?”
“Sampeyan bisa ke timur dari sini, tapi ada sungai (maksudnya kali tapi agak besar).”
“Oh, begitu, ya. Bisa dilewati mobil?”
“Kalau hujan enggak bisa, kalau kayak sekarang mungkin bisa. Kalau mobil solar, biasanya enggak bisa.” Yang menjawab ini adalah orang lain, tamu warung.
“Baik, Pak. Terima kasih.”

Akhirnya, saya tempuh jalan tersebut dan benar apa kata dia: kami harus berjibaku masuk kali yang berair, disambut jalan tanah yang berlumpur. Persneling dipersiapkan hanya di gigi pertama. Ban berputar cepat tapi mobil sedikit demi sedikit saja bergerak. Lalu, mobil masuk jalan yang sangat sempit, bergoyang ke kanan, dibawa putaran roda belakang, padahal stir sudah saya putar ke kiri. Dan…

Dug…



Saya kaget. Pasti ada bagian bawah mobil (mungkin labrang/balek) yang terantuk benda keras, semacam batu atau pangkal pohon siwalan yang ditebang tapi tidak begitu rata. Saya tidak boleh berhenti karena khawatir akan susah jika start lagi. Tetap goyang, tetap digas, dan akhirnya, kami selamat.

Mobil L300 yang ada di belakang saya juga mengalami hal serupa. Langkah pertama slip. Roda mobil berputar cepat tapi tak mampu membawa penumpang. Karena para penumpang adalah ibu-ibu guru, bahkan konon ada seorang ibu guru yang sempat menangis sembari berjanji tidak mau lewat situ lagi.


Setelah mundur hingga kali, mobil ambil stan dan akhirnya bisa lolos dari jebakan lumpur. Alhmadulilah, kami tiba di lokasi persis bersamaan dengan azan ashar.





Demikianlah, perjalanan ini ibarat orang belajar agama dan bertanya kepada orang yang bukan ahlinya. Siapa dia? Dialah seorang yang menyaru pemuka agama tetapi sebetulnya sumber ilmunya diperoleh dari sumber tidak jelas, semacam portal abal-abal atau sembarang data, seperti wikipedia yang kesahihan kebenarannya tidak terjamin. Akibatnya, mereka menunjukkan tujuan yang salah dan mungkin saja juga benar namun untuk mencapaianya butuh waktu yang sangat lama. Seperti kata Maulana Jalaluddin ar Rumi, “Barang siapa yang menempuh jalan tarikat tanpa seorang pembimbing, ia butuh waktu 100 tahun bagi 2 hari perjalanan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kopdar Triwulan di Blitar

Jarak dari rumah saya ke Blitar itu jauh. Kesannya begitu, bahkan lebih jauh daripada perjalanan saya sebelumnya, ke Banyuwangi. Tapi, ini h...