Pembaca

18 September 2024

Kebenderan ka Benderan

Arti daripada judul di atas adalah kebetulan pergi ke Benderan

Berdua saja dengan Dalil, perjalanan saya ke Sreseh untuk menghadiri acara Maulid Puisi yang diselenggarakan oleh Komunitas Sastra Sreseh menjadi asyik saja. Tak ada rasa bosan karna kami saling berbincang. Tanpanya, bisa jadi saya tidak akan pergi naik mobil, paling ngebis.

“Yang menghubungi saya untuk bicara tema Nabi di dalam puisi dalam sesi diskusi kali ini adalah Tajullail. Kamu kenal dia?”
“Tidak,” jawab Dalil tanpa dalil.
“Tapi dia teman Nuris, lho!”


“Oh, mungkin teman pondoknya dulu, karena Nuris mondok di Paramaian sebelum ke Sidogiri lalu kenal saya.”

Jadi paham sekarang, bahwa Dalil kenal Nuris dan Nuris kenal Tajul tapi Dalil tidak kenal Tajul karena seperti inilah skema hubungan pertemanannya. Gara-gara acara ini, kami berempat sama mengenal satu sama lain. Inilah salah satu hal yang paling saya suka dari kegiatan sastra. Saya bertemu dengan orang baru adalah sebuah kebahagiaan, meskipun pada saat yang sama, dalam setiap pertemanan akan hadir masalah baru juga.

Perjalanan menjadi seru ketika Nuris bergabung dari Camplong. Rencana naik bis pun gagal dan akhirnya saya bawa Colt. Hitung-hitung, ini saat yang tepat menguji temperatur mesin yang selama beberapa hari ini bermasalah. Sejauh ini, saya sudah terlanjur berburuk sangka kepada cylinder head sebagai biang masalahnya. Ternyata, masalahnya ada di Pegadaian, eh, di radiator (saya tidak menduganya karena tampak baik-baik saja). Setelah dikorok, panas hilang. Suhu mesin menjadi normal.

Menjelan azan maghrib, kami tiba di Benderan, desa Labang, kab. Sampang. Ini desa unik karena masuknya harus lewat akses Blega yang notabnene Kabupaten Bangkalan. Sreseh ini, secara administratif, masuk area Sampang. Perjalanan kami dari rumah kira-kira 3 jam lebih sedikit, dengan jarak 94 km (berdasarkan Google Maps karena spidometer saya putus) dan mestinya tidak sampai segitu bahkan dengan lari pelan saja, dengan kecepatan rata-rata 60-70 km/jam misalnya. Pertama, salah satu penundanya adalah rehat di warung karena saya kelaparan; yang kedua adalah rusaknya jalan akses dari Blega ke Benderan (termasuk juga ke Modung) yang mirip “polisi tidur semua, itu pun polisinya sudah pada bangun”, sehingga versneling alias percepatan mobil hanya bisa digunakan antara 1 dan 2 saja.

ACARA DI BRAGA, BENDERAN

Acara Komunitas Sastra Sreseh diselenggarakan dengan berpindah-pindah tempat. Akan tetapi, selama tiga tahun terakhir ia selalu ditempatkan di rumah Pak Ubaidillah dan Masu’di Said. Tempat dan seting lokasi sepertinya memang mendukung untuk acara sastra: ada kobhung, halaman luas, dan rumah yang asri. Tidak dinyana pula acara bakal dihadiri banyak orang. Menimbang penduduk desa setempat yang hanya dihuni 1700 orang (dengan DPT sekitar seribu lebih sedikit), desa Labang tampak lengang. Namun, ketika acara akan dimulai, bahkan saat sedang berlangsung, hadirin terus berdatangan. Saya bertanya dalam hati: Kok bisa mereka banyak sekali? Apakah mereka makhluk halus yang tiba-tiba muncul tanpa diketahui ataukah mereka makhluk istimewa yang turun dari langit tanpa menapak jalan bergunduk-gunduk pelosok desa?

Suasana jadi istimewa sekali karena ternyata ada paduan suara dan pembacaan Syaraful Anam sebelum acara, didahului pembacaan puisi oleh beberapa orang santri yang datang dari Lanbunlan (yang dua kiainya [kiai Ghozali dan Kiai Barizi merupakan kiai paling produktif menulis kitab di Indonesia] dan juga datang dari pondok pesantren Paramaian, sebuah pondok sangat tua yang ada di Sresesh.  

Dalam pada itu, saya bicara soal sosok Nabi Muhammad saw di pelbagai puisi, baik itu di dalam Burdah, Barzanji, Daybai, serta yang lain. Saya juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad juga disanjung oleh Rainer Maria Rilke dan beberapa penyair non-muslim lainnya. Mengapa? Kok bisa? Karena ibarat kata, kita punya banyak ‘otang tengka’ kepada beliau saw yang sulit sekali dapat ditebus karena begitu besar jasanya pada keadilan dan kemanusiaan. Untuk ini, saya menyebut conton soal perbudakan, human trafficking, adanya perintah zakat, dan sebagainya. Tak lupa saya menyebut Wulidal Huda, puisi karya Ahmad Syauqi sang raja penyair yang sedang saya terjemahkan.

Acara bubar pukul 23.00 dan saya pun pamit pulang beberapa menit sesudah itu. Perjalanan ke timur relatif lancar dan suhu mesin saya kira malah tidak efektif karena terlalu dingin. Saya cek di panel digital hanya bergerak di kisaran angka 65-72, tidak sampai ke suhu ideal, 82 derajat celcisu. Sementara di panel manual, jarum temperatur hanya berada di bawahnya strip terbawah. Wah, payah juga, nih!

“Sepertinya, saya harus pasang thermostat lagi, nih!” kata saya pada Dalil yang memang tidak bertanya, cuman mengisi waktu kosong dan kebosanan saja.

Dalam perjalanan pulang, jalan sudah lengang. Suasana sangat syahdu. Jibril, putra Nuris, relatif mereda batuknya ketimbang tadi saat berangkat. Masalah tinggal satu: yaitu mobil-mobil yang menggunakan lampu sangat terang, jauh melebihi yang butuhkan mata pengemudinya.
“Mereka menggunakan ini karena pertimbangan wattnya rendah dan mereka ada duit untuk membeli, padahal kan rumusnya tidak begitu!” kata saya berceramah kepada Dalil disertai rasa mangkel karena sering kesilauan.
“Betapa ruwetnya mereka-mereka yang semaunya saja menyalakan lampu utamanya ini, disorot ke muka lawan arah serta merta mereka seakan tidak merasa berdosa telah menyakiti mata-mata silinder dan si rabun ayam yang terkena paparan cahaya berlebihan itu…”

Jalan kian sepi. Laju mobil tetap biasa. Meskipun saya mengatakannya secara serius, tapi kami pura-pura tertawa. Toh begitu, kan, suka-suka manusia: sulit melibatkan tindakan berpikir untuk hal-hal yang remeh dan sederhana.


Kebenderan ka Benderan

Arti daripada judul di atas adalah kebetulan pergi ke Benderan Berdua saja dengan Dalil, perjalanan saya ke Sreseh untuk menghadiri acara Ma...