Pembaca

05 Desember 2025

Rencana-Rencana di Luar Rencana


“Oreng bharas banni pas odi’, oreng sake’ banni pas mate”

Ucapan di atas dikutip oleh Kak Fadlil di hadapan Kiai Zuhri Zaini. Menurutnya, ucapan itu adalah perkataan Kiai Zuhri Zaini entah beberap tahun silam. Arti kata-kata kurang lebih;  “orang yang sehat sediakala tidak berarti akan hidup normal dan demikian pula orang yang sakit belum tentu akan [segera] meninggal dunia”. Kiai Zuhri tersenyum pelan sebagaimana biasa.

Pagi itu, pagi menjelang siang, sekitar pukul 10.30, kami ketibaan rezeki bisa sowan kepada pengasuh PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Kalau saya, sih, kira-kira dua bulan yang lalu sempat sowan, namun bagi Kak Fadlillah ini momen berharga. Pasalnya, menurut pengakuannya, ia sudah berniat sowan sejak beberapa tahun yang lalu tetapi selalu saja terjadi kendala. Kiai Zuhri bercerita bahwa ia adalah putra tengah dari Kiai Zaini Mun’im, menambahkan kisah bahwa kakak-kakak lelakinya serta adik-adiknya yang sudah berpulang duluan, menanggapi ‘curhat’ Kak Fadlillah tentang kewafatan istrinya yang tiba-tiba di tahun 2022 lalu saat dialah yang sebetulnya sedang sakit.

Petikan di atas adalah tentang rencana yang terkadang sudah kita persiapkan dengan matang lalu tidak terlaksana dan kita kecewa. Pada saat itu biasanya kita lupa bahwa pengetuk palu takdir adalah Allah, melupakan kata-kata manis “manusia hanya berencana, Tuhan yang menentukan” yang sering kita ucapkan pada saat kita melipur orang lain namun terlupa saat kekecewaan menghinggapi kita sendiri. Dan seperti ini pula yang sedang kami alami.

Pagi itu, rencana saya mengantar sowan Kak Fadlillah ke Kiai Zuhri gagal karena ternyata Kiai bepergian.

“Biasanya, kalau bawa mobil putih, beliau pergi agak jauh,” kata khadam. Kak Fadlillah agak kecewa mengingat rencana sowannya kepada Kiai sudah lama sekali, sudah 2 atau 3 tahun yang lalu tapi gagal melulu. Namun, entah bagaimana akhirnya muncul kabar susulan, bahwa Kiai hanya pergi ke Besuki dan diperkirakan pukul 10.00 sudah tiba kembali. Benar, semua terjadi sesuai perkiraan. Kami sowan kepada Kiai Zuhri dengan khidmat.
“Direncanakan berkali-kali malah gagal melulu, giliran kemarin sore diajak Sampeyan dan langsung berangkat malah bisa sowan dengan khidmat,” kata Kak Fadlillah kepada saya.
“Sebaliknya dengan saya,” balas saya kepadanya. “Acara di UNUJA ini saya atur tanggal 4 Desember supaya nanti malam bisa ke acara haul Kiai Sufyan di Situbondo, namun sepertinya saya gagal karena anak saya masih sakit.”


***


Tiba di wisma tamu, saya lihat ban depan kiri depan kurang angin. Cak Memet, yang saat ini bekerja di Badan Usaha Milik Pesantren (BUMPES) Nurul Jadid mengantarkan saya ke biro umum, semacam bengkel pesantren. Saya kembalikan mobil ke parkiran lalu hadir ke acara BEM Universitas Nurul Jadid yang dilangsungkan di Aula 1. Acara bedah buku “Satu Bumi Dirusak Bersama” kali ini adalah yang pertama sejak buku ini terbit per awal Desember 2025. Panitia menghadirkan Dr Abu Khaer (sebagai pembanding) dan Ahmad Sahidah yang hadir sebagai undangan, mungkin sebagai penasehat atau entah apa namanya. Keduanya adalah dosen di UNUJA.

Acara usai dan hujan ternyata mengguyur deras. Saya pulang ke wisma tahu menggunakan payung dan mendapati keanehan beriktunya: ban kanan belakang yang sekarang gembos, padahal yang tadi ditambah anginnya adalah yang kiri depan. Drama berikutnya adalah demam anak saya bertambah hingga saya harus menggendongnya ke Klinik Azzainiyah, dipandu oleh Mas Itqon (dia juga yang mengupayakan penggantian ban serep, dikerjakan oleh sekelompok santri yang rela berhujan-hujanan, sungguh tampak heroik sekali mereka melakukannya. Saya berhutang budi dan terharu). Sementara itu, Mas Arif dan Mbak Maria Faradela serta beberapa teman BEM-nya tetap menunggu di wisma tamu sampai saya berpamitan menjelang azan Isya.

Seperti ditulis di atas, rencana-rencana banyak menyimpang dalam kesempatan kali ini. Sore itu, putri saya, Fatimah, yang sedianya mau ikut acara buku harus rela tidak hadir karena menjaga adiknya, Ahid. Rencana kami untuk hadir bersama ke acara haul Kiai Ahmad Sufyan di Panji Kidul pun gagal semua karena anak yang sakit tidak mungkin ditinggalkan dan tidak mungkin pula dibawa ke Situbondo. Yang paling mungkin adalah dibawa pulang segera ke Madura.

Setelah berjibaku melawan gerimis saat memasukkan barang-barang ke dalam mobil, akhirnya kami pulang. Pikiran masih dirundung kalut. Sisa BBM yang terakhir saya isi di SPBU Kaduara Barat ketika berangkat di malam Kamis sejumlah 25 liter itu sudah berada di strip bawah. Pandangan mata agak terganggu karena kurang tidur dan sinar lampu kendaraan yang putih tertelan oleh gelapnya aspal yang basah. Sembari mengingat bahwa pada saat itu sedang berlangsung haul Kiai Ahmad Sufyan Miftahul Arifin di Panji Kidul, saya berkirim Al Fatihah di balik kemudi.

Masuk SPBU Asembakor, pertalite kosong. Saya keluar dari SPBU dan masuk ke bengkel tambal ban yang berada di samping baratnya. Prosesnya lama karena saya antri di belakang truk dan mobil HRV sementara pekerjanya hanya seorang diri. Ia bilang kalau teman kerjanya izin karena demam. Salut, sang pekerja tunggal itu bekerja sangat cepat.

Saat mau menyalakan mesin, tiba-tiba dinamo starter tidak merespon. Ini jelas faktor kabel relay yang mungkin korsleting terkena percikan air ketika tadi melibas genangan yang agak banyak. Tidak perlu ‘ngolong’, yang tercepat di saat darurat adalah “dorooong!”. Dibantu tukang dan entah siapa lagi, mobil menyala setelah didorong. Anehnya, ketika saya mau pergantian sopir dengan Amak (dia naik dari Semampir, Kraksaan) di dekat pintu tol Gending, eh, starter berfungsi lagi. Kata saya di dalam hati: ‘Emang Colt ini kayaknya ngerjain saya, sengaja bikin malu dengan tidak menyala di tempat umum dan normal saja ketika berada di tempat yang sepi.’

Rencana lewat arteri dalam perjalanan pulang pun diubah. Kami lewat tol seperti saat berangkat. Gerimis, capek, ban gembos, korsleting elektrik adalah hal-hal yang membuat rencana berubah mendadak. Rute dibikin sama dengan ketika berangkat.

Dalam perjalanan kemarin malam (malam Kamis, 3 Desember 2025), kami berangkat dari Pakamban pukul 22.00. Setelah menjemput Amak yang akan membantu saya dalam mengemudi, saya tetap pegang stir sampai ke pintu Tol Kejapanan. Kak Fadlillah di kursi tengah bersama Ahid (anak ke-3) dan kursi belakang ditempati Sohib (anak ke-4). Amak ganti nyetir sampai di Masjid Siti Aminah al-Askar, Pajarakan, saat kami menunggu shalat Subuh dan Amak menunggu jemputan temannya.


Dalam perjalanan berangkat, saya pilih lewat tengah kota Surabaya karena kala itu sudah lewat tengah malam. Saya bawa mobil lurus dari Kedungcowek, lewat Putro Agung, Jalan Moestopo, lalu belok kiri setelah lewat depan Plaza Surabaya. Saya menikmati kota yang mulai lengang. Inilah asyiknya Surabaya, masih ada waktu kosongnya kalau tengah malam, beda dengan Jakarta. Akhirnya, saya masuk tol setelah berputar setengah lingkaran di Bundaran Waru. Secara jarak, ini jalan terpendek ketimbang masuk tol lewat Dupak 3, meskipun secara durasi waktu bisa jadi akan lebih lama kalau siang hari.

Dalam perjalanan pulang, serah jabatan pengemudi, antara saya dengan Cak Amak terjadi di dekat Gerbang Tol Gending. Kak Fadlillah memang tidak mampu lagi menyetir malam karena alasan visibilitas. Daya lihatnya jauh berkurang di malam hari. Saya pindah ke jok tengah, tidur. Sementara Ahid di jok belakang dan Sohib di jok tengah bersama saya. Tiga kali si Ahid ini muntah dalam perjalanan pulang.

Bukan hanya rencana lewat arteri saja yang gagal, bahkan rencana beli kopi di Kafe Jungkir Balik Sidoarjo pun juga tidak jadi. Sempat, sih, saya diingatkan oleh Kak Fadlillah sewaktu posisi kami sudah masuk ruas tol Gempol – Perak.
“Bagaimana? Jadi mampir ke Jungkir Balik?”
“Lanjut saja!” kata saya setengah melek. “Saya tidak tahan ngantuk.”

Saya buka mata sebentar dan melihat jam di ponsel, pukul 23.46, ketika kami tiba dekat Tangkel. Kami tiba di rumah sekitar pukul 02.30 setelah menurunkan Amak di Pakamban. Dari Pakamban ke rumah, saya menjalankan mobil pelan saja karena terdengar bunyi aneh dari roda, mungkin kampas rem yang terlepas per-nya atau entah apa yang sampai tulisan ini selesai diketik masih belum saya apa-apakan. Mobil dan orangnya sama-sama capek setelah perjalanan pergi-pulang 600-an kilometer.



22 November 2025

Hadir Undangan ke Badridduja


 

Trip 25-26 Oktober 2025

Menempuh perjalanan jauh sambil mengemudi mungkin biasa bagi sopir bis. Jarak 500 kilometer bahkan ada yang nyopir sendirian, baru 800 kilometer dibagi dua: sopir satu dan sopir dua. Kebiasaan dan ketangguhan membuat tubuh terlatih begitu dalam menjalani profesi berat ini, bahkan andaipun perjalanan dilakukan semalam suntuk.

Mengemudi sendirian adalah hal lain. Sekuat apa pun fisiknya, ada aturan 3 atau 4 jam harus rehat, baik sekadar memutus konsentrasi dengan duduk di teras masjid selama 10 menit, grounding (melepas alas kaki dan menyentuhkan telapaknya ke tanah secara langusng), maupun santai-santai saja sambil ngemil di tepi jalan. Intinya, yang disebut istirahat itu adalah berhenti sejenak atau lama.

Di usia 50 tahun, sementara usia mobil hanya selisih 5 tahun, yakni 45 tahun, saya tidak bisa melakukan penyetiran kendaraan secara langsung dan terus-menerus seperti 10 tahun yang lalu. Dulu, berani saja saya melanggar aturan 3 jam berhenti dengan mengemudi non-stop 9 jam kalau saja mau, misalnya. Saya memilih sikap hati-hati, mengendalikan tubuh lebih bugar demi keselamatan bersama. Dulu pun saya begitu, selalu rehat dalam perjalanan panjang.

Rencana menghadiri acara walimah Maisur putra Kiai Mustofa Badri bin Masduqi di PP Badridduja awalnya saya memilih AKAS IV tujuan Muncar jam terakhir yang basanya sampai di Kraksaan sebelum subuh. Rencana ini gagal. Rencana tinggal rencana dan berubah mendadak karena satu dan lain hal. Salah satunya adalah faktor anak. Terpaksa saya mengeluarkgan Colt dari garasi untuk menganggkut empat orang ke sana.

Saya cek: ban kiri depan dalam kondisi tidak aman, tipis bagian luar bahkan sudah tampak benangnya. Maka saya memakai ban serep yang ternyata masih sangat baru meskipun usianya sudah lama, sudah hampir 4 tahun. Ganti ban, kencengin baut, cek tekanan angin, baru berangkat setelah shalat isya, pukul 19.30.

Setelah SPBU Kaduara Barat (yang sering disebut “SPBU Talang” padahal tidak terletak di Talang), saya singgah sejenak untuk beli cemilan dan lain-lain dan isi BBM. Kurang lebih 15 menit, saya berangkat lagi. Kondisi fisik terasa prima karena tidur siang sangat cukup.

Belum sampai kota Pamekasan, truk cabe Traga bikin emosi. Dia memotong mobil saya di Pasar Pagendingan, nyalip dalam kondisi mepet lalu menggunting ke kiri, tepat di depan saya dan tidak boleh tidak saya harus ngerem mendadak. Untung tidak sampai memaki di mulut, namun dalam hati saya tidak terima. Saya pun berdoa: “Ya, Allah, jika Engkau akan berikan rezeki sehat dan sempat kepada si sopir Traga, kasihkan saja itu ke saya duluan karena dia telah merampas hak saya di jalan, barusan! Biar dia belakangan saja mendapatkannya.”

Saya agak heran dengan mobil-mobil pengangkut cabe ini. Mengapa mereka cenderung
arogan, ya? Ngebut boleh, tapi jangan rusuh sama orang lain. Mengapa saya bilang “cenderung”? Ya, karena berkali-kali saya mengalami seperti itu. Di lampu merah Tambung saya menyalipnya dari kiri karena ia terjebak konvoi mobil di lampu merah sementara saya sedang dalam posisi versneling ke-3. Akan tetapi, namun di perempatan Baru Rambat, Kota Pamekasan, nah, dia bikin ulah lagi: menyalip persis saat di tikungan sehingga tentu saja ia melebar. Kalau saja saya tidak ngerem, pasti sudah adu kambing dengan kendaraan yang datang dari arah depan, dari selatan. Luar biasa IQ sopir ini! Luar biasa apanya, Pemirsa?

Saya hanya satu korban yang dirugikan. Kalau menilik cara mengemudinya, sepertinya ia selalu melakukan perbuatan onar seperti itu berkali-kali, bisa jadi per 5 menit atau bahkan kurang dari itu. Entah meggapa saya beranggapan seperti itu. Perasaan saya yang mengatakannya demikain setelah melihat cara mengemudinya saat membuntutinya dari belakang.
 
Kondosi seperti inilah yang sering membuat fisik menjadi lelah, bukan sekadar karena duduk lama dengan mata mendelik ke depan terus-menerus. Rasanya, energi terkuras banyak. Tenaga habis bukan ditelan kopling yang agak keras atau stir yang belum power steering. Emosi harus dijaga. Ia sering menghabiskan, bahkan bisa menghabisi. Ih, ngeri.

Saya masuk Jalan Kedung Cowek pukul 23.30. Hujan dan angin sangat deras sehingga saya harus berjalan sangat pelan saat posisi berada di atas Jembatan Suramadu. Memang, tidak ada peringatan bahaya. Jembatan masih dibuka, tapi saya berhati-hati saja.

“Aduh!” Saya berseru keras.
“Ada apa?” tanya istri spontan.

Sebelum saya menjawab, mobil yang mendadak bergoyang adalah jawabannya. Saya menabrak genangan air yang rata di semua permukaan jalan, persis setelah turun dari cause way jembatan. Kala itu, yang lebih menakutkan daripada aquaplaning (efek puntiran kemudi akibat menabrak genangan) adalah mesin mati. Hamdalah, mobil masih bisa berjalan normal dan tanpa adanya tanda-tanda ketersedatan. Artinya, delco aman, kondensor aman.

Saya segera menelpon Bemo, kawan saya, untuk menanyakan kondisi apakah jalan Soekarto-Hatta tergenang banjir. Mungkin karena sudah malam, dia mungkin sudah tidur, telepon tidak diangkat. Akhirnya, rencana diubah karena khawatir ada banjir di sana. Saya memilih masuk tol dari GT Dupak 3 saja.

Perjalanan lewat jalan Tol dari Dupak menuju Kejapanan dan Tol Gempol bahkan hingga Gending aman dan lancar saja. Saya mengemudikan mobil dengan kecepatan rata-rata 85 - 90 km / jam. Walhasil, saya masuk lokasi PP Badridduja pada pukul 01.30, persis 6 jam dari rumah untuk rute 285 km.

* * *

Setelah usai acara siang, saya melanjutkan perjalanan ke PP Nurul Jadid untuk menyambangi anak perempuan yang mondok di sana. Sampai maghrib di sana, lalu kami pulang setelah shalat isya. Saya sempat istirahat sebentar di rumah Ustad Abdul Mannan, salah seorang kawan yang rumahnya persis berdampingan dengan rumah pengasuh PP Nurul Jadid daerah Al-Mawaddah. Istirahat 30 menit rasanya sudah puasa dan energi buat melek sampai tengah malam rasanya sudah cukup.

Dalam perjalanan pulang, saya menempuh rute yang sama persis. Durasi waktu dan kilometer pun sama. Semua rute dilalui dengan lancar tanpa kendala, tanpa ada hujan deras lagi.

Hamdalah, perjalanan kali ini seakan menjadi penanda bagi saya bahwa nyopir sendirian untuk rute agak jauh ternyata masih mampu, lebih-lebih menggunakan mobil yang kadang bikin cemas kalau sedang bret-bret-bret karburatornya. Selama kurang lebih 7 tahun terakhir, saya selalu mengemudi bersama saudara sepupu yang membantu mengganti stir manakala saya lelah. Akhir Agustus yang lalu (28-29 Agustus 2025), saya mencoba mengemudi engkel ke Jogjakata dan kini dicoba lagi ke Probolinggo, ternyata punggung saya masih mampu duduk lama dan mata saya masih kuat nanar menatap serbuan biled dan projie. Yang berubah hanya bagian betis, agak sedikit ngilu kalau terlalu lama duduk di kursi pengemudi sehiunga ketika turun dari mobil berasa linu-linu.

CATATAN: saya tidak mencatat BBM secara persis, namun berdasarkan biayanya (50 liter) untuk jarak 592 kilometer dan masih ada sedikit sisa, kira-kira konsumsinya adalah 1:12 lebih sedikit.

FOTO tidak ada sama sekali karena tidak bawa kamera dan tidak bawa HP pintar


09 September 2025

Sambil Menyambang, Ngetes Karburator

Hanya karena berkisar-kisar di area kabupaten Sumenep, perjalanan saya tadi siang dengan Colt seolah pendek saja. Setelah mencari tahu di Google Maps dan dicocokkan dengan odometer, ternyata 100 kilometer lebih juga akhirnya. Pantesan, setelah diisi penuh pertalite kembali di SPBU Ganding, SPBU tempat saya ngisi penuh sebelum berangkat, uang yang dibayarkan ke kasir adalah 105.000 alias 10,5 liter. Jadi, wajar saja kalau saya berasa capek setelah tiba di rumah, beberapa menit setelah azan Ashar. 

Perjalanan saya dimulai pukul 08.45 dan melaju ke arah kota Sumenep. Dari kota, saya melewati Paberrasan, terus Parsanga, dan tiba di Gapura sekitar pukul 09.27. Perjalanan dilanjutkan ke timur sampai masuk kecamatan Dungkek. Rombenguna adalah salah satu desa di kecamatan itu dan berjarak kira-kira 4 kilometer ke Pelabuhan Dungkek. Pelabuhan ini duganakan orang untuk menyeberang ke Sepudi dengan kapal tradisional, juga ke Gili Iyang, pulang dengan oksigen terbaik di dunia (nomor urut dua).

Dalam pada itu, saya menelepon orang-orang yang saya kenal yang kebetulan rumahnya saya lewati. Dipikirnya, saya ada perlu sama dia, padahal sekadar ingat karena kebetulan saya lewat depan rumahnya: Mawaidi di Rombenrana, Sofyan di Jenagger, dan telepon dari Mamber yang rumahnya di Grujugan yang dia tahu saya lewat dari salah satu orang yang saya telepon itu.

Setelah selesai acara di Desa Rombenguna, saya lanjut ke Nyabakan Barat. Saya melalui rute yang tidak disarankan oleh Google Maps (dalam gambar saya pilih wahana sepeda motor karena kalau pilih mobil, rute seperti dalam gambar tidak akan ditampilkan) namun dianjurkan oleh warga lokal (kebetulan saya juga pernah lewat di jalan itu kira kira 4 tahun yang lalu). Dari SMP 1 Dungkek, mobil saya arahkan ke utara, melewati jalan beraspal kasta terendah (mungkin kelas III-C) yang kalau berpapasan pastilah salah satunya turun ke tanah dan berhenti dulu. Ujung jalan ini adalah jalan kolektor Candi-Tamansari-Dungkek, sebelah barat kantor MWC NU Dungkek.

Dengan kecepatan kira-kira 50-60 km/jam, tempat tujuan dapat dicapai sebelum pukul 12, waktu yang ditentukan anak-anak KKN untuk dimulainya acara. Saya melewati pasar Candi, terus ke barat, lewat di depan rumah Pak D. Zawawi Imron, dan baru belok kanan di pasar Batang-Batang dan menuju arah Legung.

Tiba di lokasi, di Balai desa Nyabakan Barat, pukul 12.00 kurang 10 menit. Saya langsung melaksanakan shalat Duhur lebih dulu supaya nanti setelah selesai acara bisa langsung cus pulang.

Baik di Rombenguna maupun di Nyabakan Barat, tema pertemuan tersebut sama, yaitu pembahasan seputar sampah dan pengendaliannya. Maklum, KKN Universitas Annuqayah kali ini adalah KKN Tematik Lingkungan. Saya fokus pada pembahasan pada pengendalian sampah dapur dan sampah makanan, tentu saja juga menyinggung soal sampah plastik-sekali-pakai. Di kedua posko (Posko 31 Rombenguna dan Posko 10 Nyabakan Barat) yang secara kebetulan, para peserta KKN Universitas Annuqyaah di adalah peserta putri dan kebetulan juga kepala desa di kedua desa itu sama-sama perempuan, yaitu Ibu Yunni dan Ibu Riskiyah.

Seperti tadi saat berangkat, seperti itu pula saat pulang: saya mengisi penuh BBM di SPBU Ganding. Ini bukan kebiasaan saya karena sangat jarang saya mengisi penuh tangki mobil. Pengisian penuh ini dilakukan hanya untuk menguji konsumsi BBM setelah mencoba ngampak karburator Kijang 4K dipadukan dengan karburator L300 bensin. Hasilnya ternyata cuman 1:10. Angka ini belum aman, namun sudah lumayan ketimbang yang terjadi minggu lalu saat saya bawa Colt ini ke Jogja yang konsumsinya lebih boros lagi karena ternyata jarum jetnya macet.

Hamdalah, perjalanan 112 km ditempuh tanpa kendala.


01 September 2025

Menghadiri 1 Dekade Colt Jogja Istimewa di Pasar Seni Gabusan

 

Pergi ke Jogja untuk menghadiri acara 1 Dekade CJI bukan masalah mudah bagi saya, terutama karena persiapan karburator Colt yang baru dirakit. Saya (melalui bantuan bengkel) baru saja selesai ngoprek tiga karburator menjadi satu: ruang bawahnya kijang, tutup atasnya L300 bensin, daleman Colt T120). Mengujicoba karburator rakitan untuk rute hampir 500 km sekali jalan adalah sejenis kengawuran juga, sih, kalau dipikir-pikir. Persiapan lain yang tak kalah tak siapnya adalah persiapan pendanaan. Walhasil, karbu bisa bekerja, tapi kurang baik pada konsumsinya (diperkirakan kurang dari 1:10, harus diperbaiki lagi).

Kami berangkat dari rumah pukul pada pukul 21.37. Meskipun bersama tiga pemuda jomblo, tapi saya hanya yang menyetir sendirian. Maka, saya tidak mampu lagi mengemudi secara solo dan tepar di masjid Baiturrahman, Dumajah, setelah menempuh perjalanan hampir 3 jam. Satu jam lebih saya tidur di sana dan baru berangkat lagi pukul 01.44.

Mobil saya arahkan mobil lewat Tugu Pahlawan. Jejak kerusuhan masih tampak secara kasat mata. Hamburan sampah tempak di jalanan. Ada sebuah tenda Polisi yang rubuh.

Kami masuk tol Warugunung lalu rehat di tempat istirahat Km 626. Dari situ, setelah subuhan, kami bergerak lagi ke Ngawi, mampir di rumah Sidqi terletak dekat sekali dengan jalan akses Ngawi – Caruban via Karangjati. Eh, habis makan suguhan pecel pincuk berbungkus daun jati, saya tidur lagi dan baru kami baru bisa berangkat pukul 9.37 (sempat ganti filter udara di sana karena tarikan terasa sangat mampet).


“Kalian sudah tahu Solo?”
“Belum,” jawab dua orang. Jay diam saja karena dia sudah pernah ke sana.
“Baik, saya akan ajak kamu masuk lewat kota Solo.” kata saya pada mereka dengan maksud supaya mereka tahu Masjid Syekh Zayed juga Museum Lokananta meskipun hanya melintas mengingat kedua tempat tersebut berada di lintasan yang akan kami lewati. Akan tetapi, atas pertimbangan ini dan itu, saya berubah pikir. Setelah menempuh rute perjalanan arteri dari Ngawi – Mantingan – Sragen, saya pun masuk tol lagi dari Palur dan keluar di Delanggu.

Dari Delangu, kami menyusuri jalan arteri dan berkali-kali emosi oleh saking banyaknya lampu merah. Konon, kata Mas Rahmat, ada 33 lampu bangjo dari Kartasura ke Janti (dia sempat menghitungnya, dulu). Benar atau salah, saya kira jumlahnya tidak seberapa meleset. Dari angka itu dapat dibayangkan betapa ruwetnya lalu lintas dan pemodelan jalan di jalur ini mengingat jaraknya hanya ada 50 kilometeran saja. Setelah ambil buku di Kafe Mainmain, kami langsung ke rumah inap Ndalem Hartono di Cabeyan, Panggungharjo, sesuai arahan Pak Bambang Legowo. Lokasi ini tak jauh dari Pasar Seni Gabusan yang menjadi tempat acara CJI yang ke-10 ini.



Malam hari Minggu, 30 Agustus 2025, menjadi sangat spesial bagi saya karena bisa hadir dalam acara diskusi buku yang diselenggarakan oleh panitia CJI, yaitu Tirakat Jalanan. Ini adalah momentum pertama karena tidak pernah ada sesi semacam ini sebelumnya. Para anggota komunitas yang sudah datang lebih dulu di malam itu ikut hadir dan nimbrung. Sebagian lagi tampak menyiapkan persiapan kontes dan pernak-pernik acara lainnya. Sisanya ada yang tiduran saja.

AHAD, 31 AGUSTUS 2025

Seperti sebelum-sebelumnya, acara CJI Jogjakarta selalu meriah. Tanpa membandingkan dengan kegiatan korwil yang lain, acara CJI sangat ramai karena banyak sekali sub-acaranya, seperti permaianan BMX, nyanyi Koes Ploes-an. Selain itu, door prize-nya juga setumpuk, banyak sekali. Yang terbesar adalah mobil Colt T120 wagon.

Dalam pada itu, saya bertemu dengan banyak sekali teman lama. Dalam urusan Colt, yang paling lama saya tahu mungkin adalah Arkadius Anggalih (Angga) karena dialah yang buat mailing list coltmania di YahooGroups, cikal-bakal tempat diskusi para penggemar Colt. Tentu saja, saya juga bertemu dengan Pak Bambang Fidelis dan Pak Broto yang sering berinteraksi di blog ini sejak dulu (terutama Pak Bambang), namun saya baru jumpa pertama di tahun 2019, di Jakarta. Teman-teman lama ini mengingatkan saya pada masa awal punya Colt yang masih sering bertemu masalah dan kami saling berdiskusi, berbagi ilmu dan pengalaman. Dalam momentum acara seperti ini, pertemuan seperti ini tak kalah pentingnya karena sejatinya Colt itu hanya wahana, sedangkan tujuan utamanya adalah persahabatan.

Saya pulang, meninggalkan lokasi pukul 14.00. Rencana pulang lewat Wonosari – Pacitan – Madiun pun digagalkan, begitu juga  saran dari Pak Doel Mulyadi agar menempuh rute Wonogiri – Ponorogo – Trenggalek – Tulunggagung pun tidak jadi, padahal baru saja kami obrolkan. Pasalnya adalah karena ada saudara mindoan, Mas Aak, yang bilang mau nunut ke Madura. Rencana berubah total. Kedua rencana perjalanan di atas pun dihapus.

“Tapi  mobil saya tidak ada AC.”
“Tidak masalah.”
“Saya mau masuk tol dan turun di Sragen Timur, lewat arteri sampai Nganjuk, terus masuk lagi dari Tol Bandar, Kertosono.”
“Kok begitu?”
“Soalnya saya masih mau mampir di Nganjuk, masih nunggu kabar dari Nganjuk.”
“Kenapa tidak tol langsung Nganjuk?”
“Saldo tidak cukup.”
“Pake etoll saya!”

Demikianlah percakapan saya dengan Aak selalu tawar-menawar rute. Ah, rute berubah lagi dan ini adalah rute terakhir yang kami pilih. Kami pun berangkat menjelang azan Ashar, menuju Novi di Boyolali. Aak ada perlu dengannya. Dia adalah teman kami, teman bersama. Kami pun disuguhi gorengan dan kopi di situ. Saya mandi dan shalat di rumahnya, di rumah yang dulu berjaya sebagai tempat produksi keju premium Indrakila sebelum adanya pandemi.

Dari rumah Novi, kami langsung pulang, namun singgah dulu di Soto Mbok Giyem. Selesai makan berbarengan dengan azan Maghrib dan barulah kami berangkat, pulang.

Perjalanan tanpa henti membutuhkan waktu 4 jam, dari Boyolali ke Warugunung. Waktu terpotong rehat di Rest Area 626 untuk merokok dan pipis. Kami berjalan lagi dengan kecepatan rata-rata 85 km /jam, lebih dari 80 tapi kurang dari 90. Rehat dilakukan lagi di Masjid Dumajah, pukul 23.15, masjid tempat kami rehat pertama dalam perjalanan berangkat. Kami menunaikan shalat Maghrib dan Isya di sana, makan bakso dan santai pula, hingga akhirnya melangsungkan perjalanan kembali ke timur dan tiba pada menjelang pukul 02.00.

Dalam perjalanan kali ini, ada dua kejadian nyaris yang saya alami: pertama, ban tiba-tiba kempes persis setelah mobil parkir di penginapan. Ketika dibawa ke tukang ban, tidak ada bocor apa pun (dan terbukti aman digunakan pulang ke Madura), kedua; mobil mati mendadak saat keluar dari rumah Novi, baru samapi di tepi jalan, belum juga naik ke aspal. Masalah ada pada kabel kondensor terlepas. Perbaikan dilakukan kurang dari 2 menit. Yang terakhir, selang bensin patah (mungkin karena sudah sangat tua sehingga kaku, persis setelah mobil diparkir di saat baru tiba di Karduluk, di rumah tujuaan Aak.

Semua kejutan di atas ini membuat sensasi kecil yang justru mewarnai perjalanan kami dengan mobil tua, mobil yang sudah luntang-luntung di muka bumi ini kurang lebih 45 tahun lamanya.
 

17 Juli 2025

Menempuh Rute Tidak Populer

Perjalanan hari Rabu, 12 Juli 2015

 

“Pergi ke Omben melewati rute tidak biasa akan sangat menyenangkan,” kata saya dalam hati. Maka, diputuskanlah saya untuk memilih rute lewat Bandungan Pakong, Pegantenan, Palesanggar dan tembus di depan Polsek Pelengaan yang jaraknya terbukukan 55 kilometer saja. Namun, saya berubah pikiran saat sampai di Palesanggar, memilih rute lewat Kacok, yang dengan begitu jaraknya bertambah 2 kilometer, dari 55 kilometer di rute awal menjadi 57 kilometer di rute yang dilewati. Jika kita lewat jalan populer maka jaraknya menjadi 57 kilometer, yaitu dengan lewat Prenduan via Proppo. Rute memutar bisa lewat Sampang kota, namun jaraknya malah menjadi 75 kilometer ke tempat tujuan saja, Masjid Nurul Mustaqim, Napo, Omben, Sampang.

Menempuh rute tidak populer bukan semata-mata untuk melayani hasrat ingin cepat sampai karena alasan jarak terpendek. Jika itu adalah bagian dari target, maka rute populer biasanya malah lebih cepat ditempuh karena jalannya lebih mulus, lebih lebar. Jika kita minta petunjuk rute kepada GoogleMaps, maka yang disarankan adalah yang terpendek, bukan yang terbaik atau ternyaman. Sampai hari ini yang saya tahu, GoogleMaps masih belum bisa mendeskripsikan Kelas Jalan khusus, seperti  residental dan kolektor, apalagi yang lebih spesifik, seperti mana yang kelas IIIc dan mana yang kelas IIIa, misalnya.

Bagi saya, menempuh rute tidak populer (seperti yang kemarin saya lakukan untuk menghadiri undangan haul Kiai Syaifiuddin di Napo) salah satunya adalah agar tidak sering bertemu dengan kendaraan. Dengan tidak sering bertemu atau berpapasan dengan kendaraan, maka tidak sering pula saya melihat penyerobotan. Makanya, kadang saya memilih rute yang jalannya lebih banyak rusak asalkan tidak terlalu sering berpapasan dengan para pembangkang jalanan itu yang ulahnya bikin mual itu.

Walhasil, dalam perjalanan ke Napo, dari rumah sampai di perempatan Panaguan, saya nyaris tidak berpapasan atau melihat orang-orang yang melanggar rambu serta menyerobot jalur. Namun, begitu saya lewat jalan Proppo-Omben, maka yang nyalip di tikungan, yang parkir sembarangan, yang menyerobot antrian, langsung tinggal sendok di hadapan, macam hidangan prasmanan saja, banyak sekali. Begitu pula saat saya pulang lewat selatan, lewat Kota Sampang dan via Camplong, sajian pelanggarannya lebih berupa-rupa.


Saya kasih contoh misalnya saat masuk kota Pamekasan. Mulai dari depan UIN Madura sampai makam Panglegur, yang jaraknya pendek saja saya bertemu dengan tiga gangguan pada saat hendak menyalip dari sisi kiri (karena ruas jalannya memang lebar sehingga ia terdiri dari dua lajur: 1) ada orang beli (mungkin pentol) di kios tenda. Dipikirnya dia hanya sebentar saja maka boleh saja ia parkir sepeda motornya di badan jalan, akibatnya saat saya ambil kiri untuk menyalip, diurungkanlah rencana itu karena mendadak tampak ada sepeda motor di depan. Rintangan model seperti ini terjadi sampai tiga kali di tiga tempat yang kurang dari 1,5 km; 2) di dekat kantor imigrasi, ada kios yang pasang iklan tripleksnya dan posisinya makan jalan. Ya, tentu saja benda itu tidak perlu ditabrak meskipun hanya tripleks, dan karena makan jalan maka pastilah mengganggu arus lalu lintas, dan 3) ada orang memasang cone (kerucut yang terlalu dekat dengan badan jalan, yang artinya meskipun itu terbuat dari plastik, tetap saja akan menghalangi orang yang melintas, membuat saya yang hendak menyalip kendaraan yang klunak-klunuk dan berjalan di lajur dalam harus kecewa.

Itulah beberapa keunggulan menempuh rute tidak populer, tapi tentu ini tidak akan menarik bagi yang suka kecepatan dan tidak suka tantangan.  

27 Juni 2025

Korsleting Kabel Koil, Tikus, dan Fungsi Cut-Off

Ketika jarak ke rumah sudah tersisa 700-an meter lagi, tiba-tiba arus kelistrikan hilang. Mesin menggelinding, menghabiskan sisa-sisa tenaganya. Digas, tidak ada respon. Lampu kontak juga mati. Adegan berikutnya adalah bau hangus yang menyeruak dari bawah jok. Berikutnya, ada asap.

Ya Tuhan, ini hari memang mau malam Satu Suro, tapi hamba ini bukanlah keris atau golok, tak perlu dijamas dan tak perlu dilurup asap dupa! Siang itu, ruang kabin Colt saya bahkan mirip dapur, seolah ada orang masak sayuran di dalam mesin, menggunakan tungku kayu yang bahan bakarnya bercampur ban dalam atau karet yang telah meleleh.

Panik, sih, iya, tapi tidak seberapa karena saya sudah tahu langkah pertama yang akan saya lakukan, yaitu memuntir cut-off. Knop mirip kran air ini memang saya pasang di bawah jok. Fungsinya adalah memutus arus grounding (-) utama dari aki. Dengan begitu, jika ada korsleting, maka spontan akan aman, tinggal menunggu sisa bau angus dan asapnya hilang.

Mobil pun saya tepikan. Apakah setelah itu saya membuka jok? Tidak! Saya langsung pulang, minta jemput dengan sepeda motor untuk shalat duhur. Sembari saya shalat, seseorang saya utus ke lokasi dengan promt sebagai berikut ini:
1)Buka jok, masukkan ke dalam mobil, ke ruang tengah, jangan letakkan di samping atau depan mobil supaya tidak mengganggu lalu lintas
2)Periksa ruang aki
3)Lihat kabel yang gosong, kemungkinan dari koil karena arus kunci kontak tidak ada
4)Ganti kabel yang gosong dengan kabel yang lain (bawa dari rumah)

Cukup begitu saja pesan saya dan ternyata benar. Baru saja menguluk salam tanda shalat selesai, ternyata saya dapat laporan: kunci kontak sudah menyala. Saya kembali ke lokasi dan mobil bisa dibawa pulang. Sehabis shalat, saya langsung mencelat.

Cerita di atas terjadi kemarin, Kamis siang, 26 Juni 2025, hari terakhir di bulan Zulhijjah 1446. Sore tadi, 1 Muharram 1447, bertepatan dengan Jumat, 27 Juni 2025, kejadian terulang di Bakeyong. Saat saya mau pulang dari acara haul di Masjid Somber Manis, pengalaman seperti kemarin terjadi lagi, mirip sekali. Karena ciri-cirinya sama, yaitu kontrol CHG menyala, berkedip, lalu mati, disusul bau angus, maka tidak perlu inspeksi lagi kecuali segera saya buka kursi dan meyakinkan bahwa kabel plus (+) dari koil kontak bermasalah, kemungkinan gosong.

Benar, kabel itu, kabel yang kemarin diganti, ternyata sudah gosong.

Nah, baru tadi itulah saya bisa melihat ternyata ada beberapa luka kecil, mirip sayatan pisau, pada beberapa kabel. Maka, ingatan saya kembali pada beberapa waktu yang lalu, kurang lebih sebulan yang lalu.

Kejadiannya adalah; beberapa waktu lalu, ketika saya membuka kotak aki, tampak ada sisa gigitan tikus pada spon yang saya gunakan buat ganjal kutub aki. Ganjal ini saya maksudkan untuk menghindari kontak langsung dengan bodi kalau saja terjadi guncangan hebat. Saya menemukan bekas gigitan tikus yang banyak di sana. Remah-remah sponnya berceceran. ‘Untung tidak sampai memutus kabel,’ kata saya dalam hati, ketika itu. Eh, ternyata, kabel memang tidak putus, tapi adanya luka-luka kecil pada kabel itulah yang sepertinya tidak saya lihat ketika pertama kali melihat. Ia baru tampak saat saya raba-raba satu per satu sambil memperhatikannya lebih cermat lagi.

Oalaaah!

Ya, itu perkiraan saja. Akan tetapi, jika misalkan kabel luka itu bukan karena gigitan tikus, maka dalam kesempatan kali ini, sebelum artikel ini rampung, saya harus minta maaf kepada tikus karena telah menuduhnya. Maaf, ya, Kus!





25 Januari 2025

Takziyah ke Batuputih, Bedah Buku di Gapura


Hari ini, saya melakukan perjalanan ke Gapura. Tujuannya adalah menghadiri acara bedah buku yang diselenggarakan oleh TKSCI dan Kedai ZWZ. Kegiatan ini menarik karena bedah buku yang biasanya diselenggarakan oleh pondok pesantran atau kampus atau komunitas literasi, namun yang ini adalah komunitas Toyota Kijang Super Community Indonesia, chapter Sumenep.

Perjalanan dari Guluk-Guluk (rumah saya) ke Gapura nyatanya bisa ditempuh langsung lewat jalur utama. Tapi, kali ini, rute saya memutar, lewat Manding, Batuputih, Tengedan, dan baru ke Gapura. Saya pergi takziyah ke rumah Ustad Rusdi yang istrinya (Fitri Amalia) wafat dua bulan yang lalu dan saya belum sempat menyambang ke sana. Kami melakukan tahlil bersama usai shalat duhur di mushallanya. Selepas itu, saya juga pergi takziyah ke PP Al-Iftitahiyah untuk kewafatan Fairuzah el Faradis, putri Kiai Baqir yang tinggal di Somber Tombet, Batu Putih.

Selesai dua kali takziyah itu, saya melanjutkan perjalanan ke timur hingga tiba di Balai Desa Tengedan, lalu ikut jalan ke selatan. Jalannya kecil tapi bagus dan mulus, juga sepi. Nyaris tak ada bagian jalan yang rusak ditemui. Pemandangan alamnya juga bagus. Aspalnya seperti masih baru. Perjalanan lancar sampai ke lokasi saat azan asar belum berkumandang.

Komunitas TKSCI ini, dalam pada itu, bekerja sama dengan Mas Faisal, si pemilik kedai, yang kebetulan juga anggota komunitas. Mereka tidak sedang kopi darat, melainkan memang sengaja menyelenggarakan kegiatan bedah buku yang kebetulan buku itu adalah karya saya (Tirakat Jalanan). Mereka juga mengundang banyak komunitas yang kebetulan berterabaran di sekitar Gapura. Antara lain yang hadir adalah perwakilan Isuzu Panther Community Indonesia (IPCI) Madura Raya, DSTD (Driver Sumenep Timur Daja), HCS (Honda Civic Sumenep). Selain komunitas kendaraan, yang unik, mereka juga mengundang unsur yang lain, seperti GP Ansor, Komunitas Pejinak Unggas, dan entah komunitas apa lagi.

Yang tak kalah menariknya, acara yang dimulai setelah azan ashar itu dihadiri juga oleh tokoh-tokoh agama setempat, seperti Kiai Hafidi, Kiai Muhaimin, dan juga Kiai Dardiri Zubairi. Hadirin putra ditempatkan secara terpisah dengan hadirin putri meskipun rata-rata mereka adalah anggota keluarganya. Ada juga satu dua orang yang merupakan peserta umum, seperti ibu bidan Rini. Acara tadi sore itu 'rancak bana', gado-gado sekali.

Dalam acara tersebut, saya menyampaikan pokok-pokok penting pemikiran saya tentang ketertiban di jalan raya yang sejatinya memang ada landasannya di dalam Islam. Bagaimana kita dapat dengan mudah menemukan hadis pendukungnya jika memang mau. Akan tetapi, untuk bisa menjelaskan secara detil, dalam buku itu, saya harus menawarkan tata tertib berlaku lintas dari sudut pandang akhlak dan juga berlandaskan pijakan hukum yang diadopsi dari qawaidul fiqhiyah.

 

Acara selesai sekitar pukul 16.45 dan hadirin bubar setelah shalat di tempat dan/atau sebagian lainnya segera pulang karena hendak shalat di rumah. Saya pulang setelah lewat pukul 17.00 dan mampir di rumah mertua di Giring, Manding. Setelah maghrib, barulah saya melanjutkan perjalanan pulang ke Guluk-Guluk bersama adek bayi dan istri.




Rencana-Rencana di Luar Rencana

“Oreng bharas banni pas odi’, oreng sake’ banni pas mate” Ucapan di atas dikutip oleh Kak Fadlil di hadapan Kiai Zuhri Zaini. Menurutnya, uc...