“Oreng bharas banni pas odi’, oreng sake’ banni pas mate”
Ucapan di atas dikutip oleh Kak Fadlil di hadapan Kiai Zuhri Zaini. Menurutnya, ucapan itu adalah perkataan Kiai Zuhri Zaini entah beberap tahun silam. Arti kata-kata kurang lebih; “orang yang sehat sediakala tidak berarti akan hidup normal dan demikian pula orang yang sakit belum tentu akan [segera] meninggal dunia”. Kiai Zuhri tersenyum pelan sebagaimana biasa.
Pagi itu, pagi menjelang siang, sekitar pukul 10.30, kami ketibaan rezeki bisa sowan kepada pengasuh PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Kalau saya, sih, kira-kira dua bulan yang lalu sempat sowan, namun bagi Kak Fadlillah ini momen berharga. Pasalnya, menurut pengakuannya, ia sudah berniat sowan sejak beberapa tahun yang lalu tetapi selalu saja terjadi kendala. Kiai Zuhri bercerita bahwa ia adalah putra tengah dari Kiai Zaini Mun’im, menambahkan kisah bahwa kakak-kakak lelakinya serta adik-adiknya yang sudah berpulang duluan, menanggapi ‘curhat’ Kak Fadlillah tentang kewafatan istrinya yang tiba-tiba di tahun 2022 lalu saat dialah yang sebetulnya sedang sakit.
Petikan di atas adalah tentang rencana yang terkadang sudah kita persiapkan dengan matang lalu tidak terlaksana dan kita kecewa. Pada saat itu biasanya kita lupa bahwa pengetuk palu takdir adalah Allah, melupakan kata-kata manis “manusia hanya berencana, Tuhan yang menentukan” yang sering kita ucapkan pada saat kita melipur orang lain namun terlupa saat kekecewaan menghinggapi kita sendiri. Dan seperti ini pula yang sedang kami alami.
Pagi itu, rencana saya mengantar sowan Kak Fadlillah ke Kiai Zuhri gagal karena ternyata Kiai bepergian.
“Biasanya, kalau bawa mobil putih, beliau pergi agak jauh,” kata khadam. Kak Fadlillah agak kecewa mengingat rencana sowannya kepada Kiai sudah lama sekali, sudah 2 atau 3 tahun yang lalu tapi gagal melulu. Namun, entah bagaimana akhirnya muncul kabar susulan, bahwa Kiai hanya pergi ke Besuki dan diperkirakan pukul 10.00 sudah tiba kembali. Benar, semua terjadi sesuai perkiraan. Kami sowan kepada Kiai Zuhri dengan khidmat.
“Direncanakan berkali-kali malah gagal melulu, giliran kemarin sore diajak Sampeyan dan langsung berangkat malah bisa sowan dengan khidmat,” kata Kak Fadlillah kepada saya.
“Sebaliknya dengan saya,” balas saya kepadanya. “Acara di UNUJA ini saya atur tanggal 4 Desember supaya nanti malam bisa ke acara haul Kiai Sufyan di Situbondo, namun sepertinya saya gagal karena anak saya masih sakit.”
***
Tiba di wisma tamu, saya lihat ban depan kiri depan kurang angin. Cak Memet, yang saat ini bekerja di Badan Usaha Milik Pesantren (BUMPES) Nurul Jadid mengantarkan saya ke biro umum, semacam bengkel pesantren. Saya kembalikan mobil ke parkiran lalu hadir ke acara BEM Universitas Nurul Jadid yang dilangsungkan di Aula 1. Acara bedah buku “Satu Bumi Dirusak Bersama” kali ini adalah yang pertama sejak buku ini terbit per awal Desember 2025. Panitia menghadirkan Dr Abu Khaer (sebagai pembanding) dan Ahmad Sahidah yang hadir sebagai undangan, mungkin sebagai penasehat atau entah apa namanya. Keduanya adalah dosen di UNUJA.
Acara usai dan hujan ternyata mengguyur deras. Saya pulang ke wisma tahu menggunakan payung dan mendapati keanehan beriktunya: ban kanan belakang yang sekarang gembos, padahal yang tadi ditambah anginnya adalah yang kiri depan. Drama berikutnya adalah demam anak saya bertambah hingga saya harus menggendongnya ke Klinik Azzainiyah, dipandu oleh Mas Itqon (dia juga yang mengupayakan penggantian ban serep, dikerjakan oleh sekelompok santri yang rela berhujan-hujanan, sungguh tampak heroik sekali mereka melakukannya. Saya berhutang budi dan terharu). Sementara itu, Mas Arif dan Mbak Maria Faradela serta beberapa teman BEM-nya tetap menunggu di wisma tamu sampai saya berpamitan menjelang azan Isya.
Seperti ditulis di atas, rencana-rencana banyak menyimpang dalam kesempatan kali ini. Sore itu, putri saya, Fatimah, yang sedianya mau ikut acara buku harus rela tidak hadir karena menjaga adiknya, Ahid. Rencana kami untuk hadir bersama ke acara haul Kiai Ahmad Sufyan di Panji Kidul pun gagal semua karena anak yang sakit tidak mungkin ditinggalkan dan tidak mungkin pula dibawa ke Situbondo. Yang paling mungkin adalah dibawa pulang segera ke Madura.
Setelah berjibaku melawan gerimis saat memasukkan barang-barang ke dalam mobil, akhirnya kami pulang. Pikiran masih dirundung kalut. Sisa BBM yang terakhir saya isi di SPBU Kaduara Barat ketika berangkat di malam Kamis sejumlah 25 liter itu sudah berada di strip bawah. Pandangan mata agak terganggu karena kurang tidur dan sinar lampu kendaraan yang putih tertelan oleh gelapnya aspal yang basah. Sembari mengingat bahwa pada saat itu sedang berlangsung haul Kiai Ahmad Sufyan Miftahul Arifin di Panji Kidul, saya berkirim Al Fatihah di balik kemudi.
Masuk SPBU Asembakor, pertalite kosong. Saya keluar dari SPBU dan masuk ke bengkel tambal ban yang berada di samping baratnya. Prosesnya lama karena saya antri di belakang truk dan mobil HRV sementara pekerjanya hanya seorang diri. Ia bilang kalau teman kerjanya izin karena demam. Salut, sang pekerja tunggal itu bekerja sangat cepat.
Saat mau menyalakan mesin, tiba-tiba dinamo starter tidak merespon. Ini jelas faktor kabel relay yang mungkin korsleting terkena percikan air ketika tadi melibas genangan yang agak banyak. Tidak perlu ‘ngolong’, yang tercepat di saat darurat adalah “dorooong!”. Dibantu tukang dan entah siapa lagi, mobil menyala setelah didorong. Anehnya, ketika saya mau pergantian sopir dengan Amak (dia naik dari Semampir, Kraksaan) di dekat pintu tol Gending, eh, starter berfungsi lagi. Kata saya di dalam hati: ‘Emang Colt ini kayaknya ngerjain saya, sengaja bikin malu dengan tidak menyala di tempat umum dan normal saja ketika berada di tempat yang sepi.’
Rencana lewat arteri dalam perjalanan pulang pun diubah. Kami lewat tol seperti saat berangkat. Gerimis, capek, ban gembos, korsleting elektrik adalah hal-hal yang membuat rencana berubah mendadak. Rute dibikin sama dengan ketika berangkat. 
Dalam perjalanan kemarin malam (malam Kamis, 3 Desember 2025), kami berangkat dari Pakamban pukul 22.00. Setelah menjemput Amak yang akan membantu saya dalam mengemudi, saya tetap pegang stir sampai ke pintu Tol Kejapanan.
Kak Fadlillah di kursi tengah bersama Ahid (anak ke-3) dan kursi belakang ditempati Sohib (anak ke-4). Amak ganti nyetir sampai di Masjid Siti Aminah al-Askar, Pajarakan, saat kami menunggu shalat Subuh dan Amak menunggu jemputan temannya.
Dalam perjalanan pulang, serah jabatan pengemudi, antara saya dengan Cak Amak terjadi di dekat Gerbang Tol Gending. Kak Fadlillah memang tidak mampu lagi menyetir malam karena alasan visibilitas. Daya lihatnya jauh berkurang di malam hari. Saya pindah ke jok tengah, tidur. Sementara Ahid di jok belakang dan Sohib di jok tengah bersama saya. Tiga kali si Ahid ini muntah dalam perjalanan pulang.
Bukan hanya rencana lewat arteri saja yang gagal, bahkan rencana beli kopi di Kafe Jungkir Balik Sidoarjo pun juga tidak jadi. Sempat, sih, saya diingatkan oleh Kak Fadlillah sewaktu posisi kami sudah masuk ruas tol Gempol – Perak.
“Bagaimana? Jadi mampir ke Jungkir Balik?”
“Lanjut saja!” kata saya setengah melek. “Saya tidak tahan ngantuk.”
Saya buka mata sebentar dan melihat jam di ponsel, pukul 23.46, ketika kami tiba dekat Tangkel. Kami tiba di rumah sekitar pukul 02.30 setelah menurunkan Amak di Pakamban. Dari Pakamban ke rumah, saya menjalankan mobil pelan saja karena terdengar bunyi aneh dari roda, mungkin kampas rem yang terlepas per-nya atau entah apa yang sampai tulisan ini selesai diketik masih belum saya apa-apakan. Mobil dan orangnya sama-sama capek setelah perjalanan pergi-pulang 600-an kilometer.