Pembaca

17 Januari 2019

Pergi Santai, Pulang Tegang (1)


AHAD, 16 DESEMBER 2019: Berangkat ke Jember

Setelah beberapa jam mengalami pertarungan antara keputusan pergi atau tidak, akhirnya saya dan seluruh anggota keluarga berangkat ke Jawa pada hari Ahad, pukul 14 lewat, 16 Desember 2018. Pergulatan batin itu berlangsung sejak malam sebelumnya yang mestinya kami harus berangkat Sabtu sore, 15/12. Saya kira, ini adalah keputusan final.

Mengapa bertarung dengan keputusan? Karena paginya, pagi Ahad, saat kami sudah siap dan barang-barang sudah dikemas, bahkan sebagiannya sudah masuk ke dalam mobil, ada telepon dari pengurus pondok bahwa anak tertua kami mengalami sakit perut, minta dijemput pulang (bukan sekadar dijenguk). Terpaksa, saya menjemputnya ke pondok yang tak jauh jaraknya. Saya langsung membawanya ke Puskesmas terdekat, Guluk-Guluk.

Setelah dipastikan “tidak apa-apa” oleh dokter, setelah dia tidur dan saya menanyakan keadaannya lalu dijawabanya mendingan, setelah bermusyawarah, akhirnya kami berangkat juga, lengkap, kecuali dia saja, anak tertua, yang tetap tinggal di rumah.

Hingga masuk kota Pamekasan, saya tidak sadar kalau hari-hari itu adalah masa liburan. Saya cuma membatin, ‘jalanan kok ramai sekali, ya!’. Setelah kami mencapai kota Sampang butuh waktu lebih dari dua jam, padahal biasanya kurang dari itu, barulah saya menyadarinya. Pantesan!

Saat kami melaksanakan shalat asar di Masjid Jamik Kota Sampang, 3 rombongan mikrobus juga masuk, berbarengan, penumpangnya turun untuk salat. Dua orang sopirnya langsung mendekat
“Wah, masih ada mobil kayak ini, dant erawat.”
Senang saja saya dip[uji begitu, terus terang saja, deh.Mobil lawas kalau dirawat ya enak juga dipakai ke mana-mana, timpal satunya.

Hari sudah maghrib saat kami asuk Kedung Cowek, melewati Kemjerang dan tembus Jalan Pahlawan, teurs ke tol. Rencana lewat tengah kota, Jalan A Yani, digagalkan karena perkiraan saya, arus lalu lintas pasti macet berdasarkan tanda-tandanya. Mkanya, saya putuskana lewat tol saja.

Kami lewat tol sampai Gempol, tidak berusaha mencoba tol sampai Pasuruan karena tarifnya masih relatif mahal dan saya kira juga tidak efektif bagi mobil tua macam Colt T120 ini. Laju di tol tetap 70 km/jam, di jalan umum juga segitu, jadi, buat apa? Yang membedakan paling-paling cuman kalau di tol itu kita bisa menyaksikwan sawah-sawah—kayak numpak sepur—sedangkan di luar tol hanya melihat toko dan rumah. Beda cerita kalau yang saya bawa ini sejenis Innova atau Caravelle, misalnya.

Pukul 10 malam, kami baru tiba di Masjid Sabilul Muttaqin, Tongas, masjid andalan para pelintas ke arah timur. Masjid yang berada di dekat Warung Kencur dan hanya 2 kilometer menjelang pintu masuk kota Probolonggo ini sangat melimpah airnya: termasuk tujuan utama orang mampir di masjid ini. Di sekitar masjid juga banyak warung, minusnya cuma satu: tempat parkir yang sangat dekat dengan jalan dan sempit. Kami mandi, makan-makan—karena memang disedikan tempat untuk makan agar pengunjung tidak makan di emperan masjid.

Sambil lalu, saya menghubungi Kiai Kholil, tempat tujuan kami nanti, di Jenggawah, bahwa kami akan datang tengah malam, datang bukan pada waktu yang tepat. Kenapa begitu? Saya akan jelaskan nanti saja kalau sudah bertemu.

Hampir 3 jam perjalanan kami dari Tongas ke Notonegero, Jenggawah. Durasi itu termasuk sesat jalan masuk sehingga saya harus balik lagi beberapa kilometer. Suasana malam seperti itu sangat sulit mencari gang masuk. Singkat cerita, menjelang pukul 2, kami tiba setelah menempuh perjalanan 301 kilometer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kopdar Triwulan di Blitar

Jarak dari rumah saya ke Blitar itu jauh. Kesannya begitu, bahkan lebih jauh daripada perjalanan saya sebelumnya, ke Banyuwangi. Tapi, ini h...