Pembaca

17 Januari 2019

Pergi Santai, Pulang Tegang (2)


SENIN, 17 DESEMBER 2018

Seperti yang dijanjikan sebelumnya oleh Kiai Kholil—melalui pesan kepada iparnya, Khatir—bahwa akan ada layanan antar ke “surganya kopi” jika saya sudi ke Jember, maka pagi itu, Senin, 17 Desember, dituntutlah peneguhannya. Kiai Kholil rupanya hendak mengajak kami ke Puslit (maksudnya Pusat Penelitian Kopi dan Kakao) yang terletak di Jenggawah.

Berangkatlah kami pagi itu ke kebun kopi Puslit, dua mobil. Ternyata, situasi di sana berbeda dengan yang saya bayangkan. Rupanya, Puslit membikin kantornya sekaligus sebagai toko tempat mereka menjual produk kopi dan cokelat, sekaligus kebun, sekaligus tempat wisata untuk anak-anak, sejenis eduwisata atau apa namanya.

Saya bayangkan andai saja “kereta kelinci”-nya pakai lori, lokomotif penarik kereta tebu dan pakai rel beneran, bukan jalan beraspal dan keretanya Toyota Kijang yang dibungkus pakai kayu, pasti seru meskipun tentu biayanya sangat besar kalau seperti itu. Tapi, apakah itu mustahil? Lepas dari sana azan zuhur. Kami berpisah. Keluarga Kiai Kholil kembali pulang dan kami meneruskan perjalanan, wisata silaturrahmi ke rumah Kiai Jauhari di Pace, Jember daerah timur bagian selatan, masuk wilayah Silo.

Sempat dua kali saya harus berhenti untuk nanya arah jalan (sengaja tidak pakai GPS karena nuansanya biar lebih klasik, tanya-tanya sama manusia, bukan langsung kepada satelit, juga menguji instink kesopiran). Meskipun saya pernah sampai ke sana, meskipun kami tahu Kiai Imam Tanthowi—putranya—tidak sedang di tempat, tapi kami lanjut saja.  Saya ingin bawa anak istri sampai ke sana,  agar mereka tahu, setidaknya mereka pernah merasakan, bahwa perjalanan kami ini, ke sana ke mari dengan maksud silaturrahmi, pernah dilakaukan oleh orangtuia mereka, dengan arapan membekas dan pikiran dan masuk ke dalam pemahamana mereka, menjadi pembekajarabn.




Selama perjalanan, kami terus kontak dengan anak sulung di rumah. Kabarnya masih sakit, tapi
mendingan. Makan masih sulit, tapi masih bisa. Ya, kaar ini membuat kami sedikit lega meskipun juga berat di perasaan karena dia hanya sendirian, besama teman yang menjaganya, di rumah. Betapa tidak enak tinggal di rumah dalam keadaan sakit.

Untung, ada Mahmud Zain yang antar kami ke sana. Mahmud nunggu di Karangharjo. Kami melewati perkebunan kopi, yang tenu saja akan bingung andai saja kami jalan di malam hari. Jarak ke sana, dari kota, sekitar 30 kilometer, melewati jalan dan kontur yang tidak rata.

Setelah sowan sama Bu Nyai yang sakit karena Mbah Kiai sedang mijil, kami pun pamit pulang sebelum asar. Maklum, jadwal padat. Kami harus ke Mangli sebelum maghrib sebab isya nanti akan lanjut ke Kancakona, untuk hadir di acara diskusi.

Bahagia tak terkira karena akhirnya saya dan seluruh anggota keluarga, terutama si kecil, tak pernah sampai ke sana. syukur dipanjatkan karena bibi sehat dan Walid masih seperti dulu kata. Hal yang menakjubkan terjadi sehabis maghirb. Saya disambangi seorang kawan bernama Juky dari Mangli dan seorang lagi dari Kencong, Adi Juni, bersama pamannya. Rupanya, mereka sengaja datang ke sana untuk menjemput sekaligus mengawal saya ke kafe Kancakona. Jadilah 3 colt berangkat dari sana bersama-sama setelah isya.

Acara diskusi  “Seni Mencatat” yang diselenggarakan oleh IAA Jember dan diletakkan di Kancakona Kopi ini sekaligus Kopdar Jember Colt Lover (JCL). Colt saya diajak parkir di SPBU Kebonsari, Jl Letjend Suprap   to. Kami bertemu dengan sekitar 6 mobil Colt di sana. acara intinya adalah salaman, perkenalan, foto-foto. Setelah itu, kami berangkat dalam bentuk karnaval, menuju lokasi acara.

Kejutan terjadi di kafe. saya bertemu denga Badri Khairun, seorang kawa yang hanya kenal di Facebook da baru kali itu berjumpa. Saya juga bertemu dengan Komaruddin, kawan sebangku di kampus dulu, yang tak pernah ketemu sekitar 20 tahun lamanya. Betapa menakjubkan media sosial ketika semua yang tidak pernah kita bayangkan 20 tahun yang silam itu terjadi begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kopdar Triwulan di Blitar

Jarak dari rumah saya ke Blitar itu jauh. Kesannya begitu, bahkan lebih jauh daripada perjalanan saya sebelumnya, ke Banyuwangi. Tapi, ini h...