Pembaca

05 Juli 2020

Nostalgia ke Bengkel Ayah


Masih kuat saya ingat, waktu kecil dulu, ketika ayah saya punya Colt T120 pikap, sesekali beliau pergi ke bengkel ini,  Pak Mawi. Perisitwa tersebut mungkin terjadi sekitar tahun 1991-1993. Setelah itu, karena ayah saya tak punya Colt lagi, beliau jarang datang ke Pak Mawi, tapi bukan sama sekali.

Ketika saya punya Colt di akhir tahun 2008, terpikir oleh saya untuk nyambung hubungan lagi. Kata hadis yang saya baca, termasuk membuat kebaikan terhadap orangtua adalah dengan tetap menjalin hubungan baik terhadap relasi yang telah dibangun oleh ayah kita. Dan cara ini, bagi saya, adalah salah satunya.

Namun, kesibukan demi kesibukan membuat saya tidak kunjung bisa menyambangi beliau, bahkan sempat ragu, apakah Pak Mawi ini masih ada atau sudah wafat. Sering saya melintas di depannya, karena posisi rumah beliau yang dekat jalan raya Guluk-Guluk – Pakong. Kalau saya bepergian ke daerah Pamekasan melewat jalur tengah, maka sudah pasti saya lewat di tempat ini, Baban, sebelah barat Cenlecen. Desa Cenlecen ini adalah desa paling barat di kecamatan Guluk-Guluk (sedangkan saya berada di ujung timur kecamatan Guluk-Guluk).

Nah, baru pada hari ini, Ahad, 5 Juli 2020, saya berhasil pergi dan berkunjung kepadanya. Saya tiba pukul 8 pagi, sekitar 30 menit perjalanan dari rumah dalam kecepatan santai sekali. Dekat, kan? Dekat sekali, tapi kalau sudah tidak ditakdirkan sampai, lebih-lebih juga dibumbui malas dan enggan nyambung persahabatan, yang dekat pun jadi jauh.

Di serambi rumah beliau ada sepasang orang duduk-duduk, begitu pula ada dua orang lelaki sepuh di bengkel, seberang rumahnya. Saya pun bertanya pada salah satu dari dua orang sepuh yang ada di sana.

“Pak, benar di sini bengkel Pak Mawi?”
“Benar”
“Panjenengan?”
“Bukan, yang itu!” kata si bapak satu menunjuk bapak sepuh satunya.

Saya mendekati beliau yang sedang memperbaiki mobil lain, mungkin hanya tinggal sentuhan ringan, hampir selesai. Saya berkata pelan, di dekatnya.

“Pak Mawi enggi?”
“Enggi. Panjenengan?”
“Saya dari Luk-Guluk. Dulu saya beberapa kali datang ke sini, ikut ayah saya, Abdul Adhim namanya. Beliau dulu punya Colt pikap.”
“O, iya. Ada keperluan apa?”
“Mau nyetel mobil.”
“Kenapa mobil Anda?”
“Endak apa-apa.”

Pak Mawi tersenyum karena saya tersenyum.

“Lah, kenapa mau disetel kalau tidak apa-apa?”
“Saya cuman pengen agar mesin Colt saya merasakan disentuh oleh Panjenengan, sebagaimana dulu Panjenengan pernah nyetel mobil ayah saya.”

Pak Mawi tersenyum, sedikit tertawa. Beliau mungkin merasa aneh dengan perkataan saya. Akan tetapi, sungguh, saya sama sekali tak merasa ada yang janggal, apalagi aneh, dengan pernyataan tadi. Setidaknya, kedatangan saya ke bengkel ini tetap punya nilai tulus seperti yang saya pelajari, yaitu menjalin hubungan baik dengan orang yang pernah menjalin hubungan dengan orangtua kita.

Dan pekerjaan pun dimulai….

Satu jam kemudian, pekerjaan selesai.
“Berapa, Pak?”
Dia menyebut harga. Saya bayar dua kali lipatnya.
“Loh?”
“Anggap saja kelebihan ini dari ayah saya!”

Terima kasih, katanya.

2 komentar:

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...