Pembaca

01 Agustus 2020

Mempertimbangkan Lampu: Fungsional atau Ideologis

Saya suka orisinalan, yakni menggunakan barang-barang asli atau bawaan pabrik. Tapi, saya bukan puritan, bukan aliran garis keras. Memang, selagi bisa dan mungkin dijangkau, saya akan cari dan berusaha menemukan yang asli. Namun, jika tak ada, atau karena alasan praktis lainnya, yang bukan bawaan atau bahkan yang kualitas nomor dua pun akan saya gunakan juga. Begitu pula, prinsip ini saya terapkan untuk Colt.

Saat menerima Colt ini di akhir tahun 2008, saya ingat, lampu mobil tersebut masih menggunakan lampu standar, sealed beam, merek Kroto apa Koito, lupa. Terus, saya ganti dengan reflektor crystal pemberian kawan Angga (Arkadius Anggalih) untuk lampu jarak jauhnya (pernah pula ditukar dengan lampu jarak dekatnya). Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, dua tahun lalu, tepatnya Juli 2018, mobil saya diseruduk truk pengangkut garam. Pecah pula lampu ekor dan lampu depannnya sekaligus (karena benturan keras yang menyebabkan mobil saya yang sedang berhenti itu akhirnya ikutan nyeruduk mobil depannya yang juga sedang berhenti).

Pada saat itulah saya berpikir: saatnya kembali ke pabrik, restore factory setting, begitu kalau bahasa handphone. Saya cari lampu bekas Stanley atau Koito, lampu cor-coran, sealed beam, lampu yang bohlam sekalian reflektornya tidak dapat diganti itu. Keunggulan lampu ini lebih fokus, watt rendah, dan lebih terkesan klasik. Pencarian dilakukan dan ternyata sulit sekali menemukan lampu asli dengan kualitas bagus. Akhirnya, saya cuman nemu versi kualitas rendahan (merek Eagleeye, dan ternyata tidak fokus, mana wattnya besar pula). Sementara lampu sealed beam yang pernah saya kumpulkan ada 3 varian. Yang merek Koito rata-rata watt 37,5 untuk lampu jarak pendeknya.

Sebetulnya, alasan saya menggunakan lampu tipe ini lebih bersifat ‘ideologis’, sejenis antitesis. Saya benar-benar sering merasa terganggu, bahkan terzalimi, oleh pancaran cahaya lampu depan kendaraan-kendaraan bermotor yang sinarnya menyakitkan mata kita yang datang dari lawan arah. Pertama, mereka yang menggunakan spesifikasi lampu yang terlarang, seperti HID; kedua, mereka yang mengubah watt lampu melampaui spesifikasi pabrik; ketiga; mereka yang tidak bisa membedakan mana lampu jauh dan mana lampu dekat dan/atau tidak tahu kapan waktu yang benar untuk memfungsikannya kedua-duanya.

Kita lihat, orang-orang berlomba mengubah lampunya jadi lebih terang. Apa tujuannya? Salah satunya adalah untuk melakukan ‘perlawanan’ jika mereka ‘diserang’ oleh lampu kendaraan lain yang juga sangat terang. Kenyataan ini saya dapatkan dari hasil wawancara dengan beberapa orang terkait alasan mereka mengubah lampu depannya, atau memasang lampu tambahan, seperti sokle (lampu sorot) dan/atau lampu kilat (blitz).

Karena alasan itulah, saya lantas secara sadar mengubah lampu mobil saya menjadi lebih buram, sejauh mampu mata saya melihat, agar kendaraan-kendaran lain itu lebih puas dan makin merasa superior ketika berhadapan dengan Colt saya yang lampunya menyala merah, cenderung redup.

Namun, ternyata, sealed beam sering bermasalah. Sudah tiga kali saya pasang dan tiga kali pula putus. Biasanya, yang putus lampu jarak dekatnya. Ini menunjukkan bahwa lampu bekas itu memang sudah terlalu lama digunakan untuk menyinari jalan raya, khususnya lampu jarak pendeknya. Akhirnya, saya beli cangkang pemantul lampu biasa saja, dengan bohlam halogen watt 50/60, watt paling rendah yang saya tahu dan dijual di toko.

Malam yang dulu gelap, di kota-kota, kini nyaris tiada beda dengan siang hari, apalagi di kota metropolitan seperti Surabaya. Kapan waktunya kita menikmati kegelapan? Bintang-bintang yang indah hanya akan tampak saat gelap begitu pekat. Di atas itu semua, saya sadar, bertambahnya suhu panas di Bumi ini, salah satunya, disebabkan oleh polusi cahaya. Memang ini tidak prinsip, dan tidak tampak berdampak secara langsung, tapi ketika kita telah melakukan aksi untuk tidak turut serta menyumbangkan panas melalui suhu yang dipancarkan bohlam teramat terang itu, maka apa yang kita lakukan itu adalah aksi ideologis, seberapa pun itu kecilnya. Saya berpegang pada prinsip ما لا يدرك كله ، لا يترك كله yang artinya kurang lebih; jika tidak mampu mengerjakan semuanya, maka jangan tinggalkan seluruhnya.

baiklah, untuk sementara, saya pakai lampu halogen dulu, 60/50 watt, hingga saatnya saya nemu yang orisinal bawaan Colt-nya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ke Sobih, Kampung Colt

Jika kata Sobih disebut di hadapan Anda yang domisili di Bangkalan, imajinasi yang mungkin muncul pertama kali adalah bubur, ya, Bubur Sobih...