Pembaca

13 Oktober 2021

Ziarah Walisongo Plus-Plus (Etape IV: Cipanas - Lembang)


Di hari ke-4, Ahad tanggal 3 Oktober, saya memang tidak merencanakan pergi pagi-pagi ke ke Bandung, tujuan kami setelah dari Cipanas. Pasalnya, semalam suntuk tidak tidur, langsung cus dari rumah Pak Bambang setelah kopdar di rumah Pak Broto, masa tiba di Cipanas cuman duduk sebentar terus berangkat lagi? Kurang elok rasanya, baik bagi tuan rumah maupun bagi tubuh sendiri.  
Kejutan belum berakhir. Tidak disangka, kediaman Didin alias Amin ini berdekatatan dengan rumah Firdaus. Hal ini baru saya ketahui setelah utak-atik ponsel android yang sengaja saya pinjam ke Ummul demi perjalanan ini. Awalnya, saya terhubung dengan Eko Cahyono, teman si Firdaus. Dari si Eko ini barulah saya terhubung si Daus (Oh, ya, Daus ini anak band, timnya D’Masiv. Mungkin Anda kenal nama band ini).

Singkat cerita, ternyata, rumah Firdaus berada di seberang jalan masuk ke rumah Amin, depan pasar Cigombong yang saat itu sedang diperbaiki. Hal ini saya ketahui setelah saya diantar Amin untuk bertandang ke rumahnya. Sementara Anam tidur karena dia bakal ambil jatah nyopir ke Bandung setelah ini, saya main ke rumah Firdaus.

Benarlah, kaget sekali si Daus karena saya benar-benar mendatanginya, padahal yang saya rencanakan sebelumnya adalah berjumpa dengan Eko lebih dulu dan Daus nomor berikutnya. Itulah rahasia takdir: yang dirancang tidak tercapai, tujuan sampingann malah disambangi duluan. 

Tak labih kaget daripada Firdaus, saya melotot ketika tidak dipersilakan duduk di serambi rumahnya, melainkan masuk ke kamar dalam, dan... astaga, langsung dihidangi soto, oh, sotodio. Rupanya, Firdaus ini membuat studio pribadi di kamar tengah rumahnya.

“Loh, kamu punya studio sendiri di dalam?”
“Ada lah, tapi sempit.”
“Iya, tapi kan studio meskipun sempit?”
“Hah, ha,ha ha.”


Tak terbayang betapa bahagianya kami. Disuguhi makanan, minuman, juga pemandangan alat-alat musik yang banyak sekali, tertata rapi. Merokok di studio itu pantangan, tapi di sini justru dipersilakan. Akhirnya, saya, Firdaus, kakak iparnya—yang ternyata temannya Amin—mencoba tuk memegang alat-alat itu sendiri-sendiri. Lalu, kami memainkannya sendiri-sendiri, improvisasi. Setelah itu, kami bersepakat menyatukannya ke dalam satu konsep yang bernama “harmoni”.

Setelah satu jam lebih, saya pamit. Firdaus dan teteh melarang, tapi saya tidak lupa diri, bahwa saya dalam perjalanan panjang. Bandung masih jauh, Ciamis apalagi, dan ke situ saya hanya mampir. Maka, saya pun pamit kepadanya. 

“Maaf, ya, saya harus ke Bandung hari ini. Lagi pula, ini kan cuman mampir, juga kunjungan yang pertama. Saya harus ngirit waktu agar Kamis depan sudah tiba di rumah soalnya saya harus mengajar SMA dan Aliyah.”
“Tunggu dululah..” tahannya.
“Sungguh maaf, saya harus berangkat lagi. Kita autrt waktu saja, saya mau kemblai ke sini untuk beberapa lagi. Siap?”
“Ashiap!” 

Pulang ke rumah Amin, eh, kami disuguhi makan lagi oleh si istrinya, Ainur (yang secara kekerabatan masih ada hubungan famili dengan saya, tapi seperti terputus karena begitu lama tidak berjumpa sebab tempat dia—ya, Cipanas ini—sangat jauh dari rumah kami). Setelah makan, Amin ngajak saya ke lokasi lembaga pendidikan yang saya kelola. Saya terharu, sangat bahagia. Bisnis jalan, pendidkan jalan, pertanian: sungguh itu merupakan idaman bagi santri. Amin—yang juga dikenal dengana nama Didin Wahidin ini—mengelola lembaga pendidikan Jamiatul Kurnia juga majlis taklim bernama Al-Badar. 
Kami berangkat dan matahari sudah siang. Berdasarkan peta digital, kami diarahkan menuju tujuan selanjutnya, Imah Noong, melalui Tol Pasteur karena posisi Lembang, tempat Imah Noong berada, adalah di utara Bandung tapi secara administratif berada di Kabupaten Bandung Barat. Untunglah, setelah komunikasi dengan teman COP (Colt Owner Parahyangan), Mas Akbar Rizal, saya dianjurkan lewat Cisarua saja. Barangkali dia ingin saya mendapatkan pengalaman baru dalam menjajaki trek yang indah dan tidak ditemukan di Madura.  

Perjalanan dari Cipanas ke Padalarang sungguh amboi, ya treknya, ya, pemandangannya. Jalannya berkelak-kelok, naik-turun. Kalau dlihat dari citra satelit, treknya mirip cacing yang sedang mengkeret. Meskipun naik turun, tapi suhu udara di luar membuat mesin 4G41 yang mudaha panas ini aman-aman saja.

 

Anam dan Qudsi tampak bahagia sekalai bisa merasakan pengalaman mengemudian mobil plat M di area plat F. Kami melintasi daerah bernama Cipatat—yang semula saya kira Ciputat dalam versi salah ketik. Setelah itu, ada nama Cibogo, Citatah, hingga akhirnya kami tiba di pasar Padalarang saat matahari sudah mulai condong ke barat. Kami lewat di bawah jembatan tol Cipularang (Cikampek – Purwakarta – Padalarang), menyeberang ke arah Ciasarua. 

Nah, pada trek berikutnya ini, jalannya kian seru. Kelak-keloknya tidak berakhir, malah bertambah, bahkan kami dikasih bonus: tanjakan panjang. Tapi, seperti dikatakan, suhu mesin dan temperatur sama sekalai tidak ada maslaah sebab kondisi alamnya yang sejuk. 

Rasa was-was menggelayut justru karena hal lain. Mengingat jalan yang sangat padat dan sering kali kami jumpai kemacetan di jalan, saya khawatir kalau setelah tiba di Lembang, kami tidak bisa pergi ke mana-mana. Maka, saya ragu untuk singgah-singgah lagi ke rumah teman yang ada di sekitar Bandung yang sebetulnya saya rancang sejak di Madura, misalnya pergi ke Ciparay di Soreang, rumah Kang Faisal Imron. Tidak terbayang sebelumnya kalau situasi jalanan di kota Bandung telah sebegitu macetnya. Entah memang seperti ini keadaaanya setiap hari ataukah kondisi ini terjadi karena Bandung baru saja membuka diri untuk dikunjungi setelah tertutup karena pandemi?

Sore hari, kami tiba di Lembang dengan selamat setelah lebih dulu tersesat saat masuk ke laboratorim Bosscha. Di Imah Noong, tempat Mas Hendro Setyanto, saat itu ada sekleompok orang yang sedang berkunjung untuk belajar falak dan astronomi. Kabarnya, mereka kabarnya dari Papua. Mereka hendak membuat suatu bangunan multifungsi seperti yang pernah dibuat pak Hendro, yaitu mushollatorium, musholla sekaligus planetarium.

Akhirnya diputuskan; , malam itu kami bermalam di Lembang. Saya dikunjungi Mas Akbar Rizal dan Kang Obeh beserta keluarganya. Saya juga disambangi oleh Mizan Asrori dan beberapa santri alumni: Khairul Umam Yudi Rahman Hasanuddin. Tak dinyana, saya juga bisa berjumpa dengan Komeng atau Qomaruddin, kawan di Jogja dulu yang entah sudah berapa tahun tidak berjumpa. 

Setelah menyimak presentasi Mas Hendro Setyanto di dalam musholla, sembari melihat peta langit di bawah kubahnya, saya tutup kegiatan malam itu dengan makan malam dan ngobrol, seru sekali.  























2 komentar:

  1. Catatan keren Kyai.... Alhamdulillah kampung saya (Rajamandala, Cipatat) kecipratan berkah jalanannya dilewati Kyai dari Madura, sayang pada hari itu saya sedang tidak dirumah, andaikan sedang dirumah,saya akan berjaga dipinngir jalan dan menyetop mobil Colt berplat M itu 😀

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh, iya, Mas Nanang. Senang sekali karena ternyata dikomentari orang yang jalannya saya lewati, hi hi hi

      Hapus

Kopdar Triwulan di Blitar

Jarak dari rumah saya ke Blitar itu jauh. Kesannya begitu, bahkan lebih jauh daripada perjalanan saya sebelumnya, ke Banyuwangi. Tapi, ini h...