Pembaca

21 Oktober 2021

Ziarah Walisongo Plus-Plus (Etape VI: Purwokerto - Wonosobo - Temanggung - Semarang - Kudus)

Sejak dulu saya hanya dapat membayangkan sampai ke Purwokerto lalu makan tempe mendoan di pagi hari, ternyata keinginan tersebut kesampaian puluhan tahun kemudian meski sebatas satu poin saja, yaitu tempatnya, mendoannya tidak. Sebabnya, pagi sekali di situ, kami harus segera meninggalkan kota tersebut demi menjangkau lebih banyak tempat yang harus disinggahi dan dituju. Hal itu telah sesuai dengan rancangan perjalanan pulang.

Saya bangun sebelum azan subuh, Selasa, 5 Oktober 2021. Tumben, rasa lelah tidak membuat kami terlelap dan molor. Tidur di rumah yang tenanglah yang membuat kami cepat ngorok dan saya benar-benar mencapai target untuk beristirahat. Usai subuhan di Masjid Thalhah bin Ubaidillah, masjid yang bersebelahan dengana rumah beliau, saya kembali ke kamar, membangunkan dua anggota yang masih telentang. 

Setelah ditemui di ruang tamunya, berbincang sedikit tentang banyak hal, Bibi mempersilakan kami makan. Tentu saja, tanpa perlu ewuh-pekewuh, kami segera memanaskan perut dengan nasi dan ayam goreng dan lalapan sembari memanaskan mobil setelah mengecek oli dan air radiator.

Sebelum pukul tujuh, kami telah meniggalkan Pasirmuncang menuju Wonosobo. Akan tetapi, saat kami melintasi kota Banjarnegera, tiba-tiba saya teringat seorang kawan lama. Abdullah Haqqin Nazil namanya. Saya tepikan kendaraan di sebuah toko yang tutup, dekat Kedai Donat Cihanjuang, sembari mengeluarkan termos kopi lalu merokok dan mulai mengeluarkan ponsel, mencari nama di buku alamat.
Nama “Si Doel” ada! “Semoga dia tidak ganti nomor,” kata saya dalam hati. Pasalnya, saya sering dibikin sebal dan menyesal telah menyimpan ribuan nama dan nomor orang, dijaga, dirawat, eh, ternyata sudah ganti semua, bahkan ada yang pindah kepemilikan. Rata-rata, tak ada kawan yang bisa merawat nomor ponselnya lebih dari 10 tahun, apalagi sampai 20 tahun seperti Si Doel ini. 
Hanya beberapa menit, Si Doel—panggilan kesayangan saya untuk beliau—datang. Kaget sekali dia. Kami berpelukan, wah, seperti drama. Lalu, dia memaksa saya agar bertandang ke rumahnya, padahal dia sedang mengenakan pakaian dinas. “Saya sudah izin sebentar kepada atas. Ayo, harus ke rumah!” ajaknya. 

Kami mampir di rumah si Doel, malah ditahan-tahan agar tidak segera ke Wonosobo, padahal tadi sudah terlanjur janjian dengan Haqqi, sang tuan rumah di Wanazabe. Setelah berjuang keras, akhirnya kami diperkanankan pergi, setelah satu jam lebih bertandang di situ. Waktu sebegitu singkat sudah tergolong lama karena mampirnya tidak terencana. Tapi, jika ingat dia adalah kawan lama yang tidak dikunjungi, maka satu jam itu tidak ada apa-apanya untuk duapuluh tahun lebih tidak bertemu. Intinya, apa pun ceritanya, sebagiamana hidup ini, jalan cerita tetaplah jalan cerita, hingga kami lanjutkan perjalanan ke Wonosobo yang berasa dingin sejak beberapa kilometer sebelum tiba.

Kami mencapai lokasi Masjid Al-Manshur, Kauman, masjid legendaris dengan arsitektur lawas, pada pukul 10.40. Situasi sangat ramai. Rupanya, takmirnya  mengadaklan vaksin bersama masyarakat. Sebelum Anto Bagong datang bersama Akmal Abid yang menyatakan akan ikut menyambang setelah tahu saya datang, Haqqi Anshari juga kontak-kontak kawannya. Akhirnya, saya bisa berjumpa dengan beberapa orang yang sudah lama kenal juga orang yang kenalnya baru saja: Mbak Astin (senior saya di IAIN Sunan Kalijaga), Salman (teman di komunitas BMC) dan kawannya, Tofa), hingga akhirnya Mas Anto dan Akmal Abid datang (mereka berdua adalah kawan sesama penggemar Colt T120). 

Saya sangat terharu melihat kedatangan Mas Anto mengingat beliau, tadi sebelum tiba, menyatakan sedang berada di Temanggung lalu balik ke Wonosobo untuk menemui saya. Ternyata, yang ngasih tahu Mas Anto perihal posisi saya adalah Pak Bambang (Benar-benar kayak orangtua itu Bapak, memantau perjalana saya terus-menerus, sejak berangkat hari Kamis sampai ini sudah masuk hari Selasa). Dari Temanggung untuk satu keperluan, beliau balik arah ke Wonosobo hanya untuk menjumpai saya? Waduh. Dan ternyata, kejadian sesudahnya adalah; beliau balik lagi ke Temanggung, mengawal mobil saya.

Setelah melaksanakan rukun pertemuan kontemporer, yaitu sesi foto bersama, saya pun pamit kepada Haqqi dan teman-teman yang lain untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum itu, kami sudah melaksanakan shalat jamak di masjid serta sowan kepada Kiai Chaedar Idris yang kediamannya bersebelahan dengan masjid. 

Cus Temanggung...

“Tolong jangan makan dulu,” pesan Mas Anto kepada saya, tadi lewat sambungan telepon, sebelum beliau tiba. “Saya mau ajak Anda ke tempat makan yang enak.” Ternyata, yang dimaksud tempat makan enak itu adalah makan entok di warung Raja Mentok, Kertek. Lokasinya tak jauh dari rumah Mas Anto. Tapi, rumah makan ini ternyata jual ayam goreng juga. Ayam memang paling ngetop sedunia.

Sembari makan, Mas Anto bilang kalau dia mau mengantar kami ke Kadilangu, Demak, ke makam Sunan Kalijaga.

“Wah, ndak usah merepotkan, Mas.”
“Bukan merepotkan, tapi kami memang yang ingin ikut ziarah, mumpung,” katanya.
“Baiklah jika alasannya memang begitu.”

Maka, naiklah saya ke mobil beliau, sebuah mobil pikap box bermata bulat, “bagong” kata orang. Sementara  Colt saya dibawa Anam dan Qudsi. Dua mobil siap bergerak menuju Demak. Namun, dalam perjalanan dari Wonosobo menuju Temanggung, kami sempat singgah di Kledung untuk sesi foto sore, foto bersama dengan latar Sindoro-Sumbing, sebelum sampai ke Tembarak.

Sebab matahari sudah turun,  kami sepakat untuk shalat maghrib di rumah Mas Akmal Abid. Pasalnya, saat tadi kami mengikuti Mas Anto ke rumah istrinya—mungkin istri yang satunya, bukan istri yang satunya lagi—beliau tidak jadi membawa bagong stationnya, lalu memutuskan untuk bawa bagong pikap box-nya yang pada saat itu diparkir di rumah Mas Akmal. Jadi, selain singgha, ke rumah Mas Akmal kami juga untuk tukar kendaraan (Mas Anto ini, konon, punya banyak Colt, tapi entah di mana saja berada). 

Kami shalat maghrib di Masjid Al-Mubarok, Tembarak Kidul, Desa Tembarak, Kec.Tembarak, Kabupaten Temanggung. Kala itu, masyarakat setempat agaknya sedang melaukan shalat daf’ul bala’ karena esoknya (Rabu, 6 Oktober, bertepatan dengan 29 Shafar) bertepatan dengan Hari  Rabu Wekasan, rabu terakhir di bulan Shafar. Kami pun berdoa agar safar kami diberi keselamatan sampai ke rumah, di Madura. 

Sehabis shalat, mobil langsung dipancal. Saya dan Mas Anto memimpin, sedangkan Colt Pariwisata, colt saya yang dikemudikan Anam, mengekor di belakang. Perjalanan dari Temanggung menuju Semarang sungguh mengesankan malam itu. Sepanjang perjalanan saya ngobrol berbagai macam hal-ihwal kehidupan, mulai dari usaha dan perdagangan hingga wiridan. 

Lampu-lampu kota, seliweran orang yang berkendara dan melintas, serta toko-toko yang masih buka dan tutup, menjadi hiasan perjalanan kami. Hidup tampak sangat dinamis dan semarak. Saya pun menikmati perjalanan, terutama perjalanan di trek atau rute yang saya lewati untuk yang pertama kali, naik Colt. Ada banyak hal yang saya pelajari.

Hingga mobil masuk area kota Semarang, kami tidak masuk jalan tol sama sekali. Saya buta peta, ikut saja, begitu saja mobil saya yang ada di belakangnya, termasuk ketika Mas Anto mengarahkan rute ke Kota Tua, Semarang, saat beliau hendak menghormat kami dengan sajian makan malam.

Lokasi yang dituju adalah Warung Nasi Goreng Babat Pak Karmin Berok. Kami tiba di situ pada pukul 20.30. berdasarkan penjelasan dari Mas Anto, sepertinya warung tersebut adalah warung legendaris. Bagi saya, legendaris atau tidak, yang terpenting adalah makan dan tidak kelaparan. Pasalnya, selera kuliner saya sangat rendah. Kalau ternyata makanannya enak, maka anggaplah itu bonus bagi lidah.

Acara makan lancar jaya, tapi ketika distarter, si Bagong ngambek: mobilnya nyala, tapi gas tak mau turun. Mas Anto tak kehilangan gaya. Beliau buka jok, memperhatikan kabel gas dan tak tampak ada hal yang mencurigakan. Ini aneh. Untungnya, atas bantuan Akmal (setelah ditelepon) kami tahu bahwa ada per yang patah. Ya, per pengait gas terjatuh karena patah. Di antara yang buntung, masih selalu ada hal yang untung, yakni bahwa sisa patahannya ada di kolong mobil. Tinggal tekuk ujungnya, kaitkan kembali, jreng lagi. Kedua mobil kami kembali melahap jalanan Semarang – Demak yang mulai tampak sepi di malam hari.

TIGA SUNAN DI JAWA TENGAH

Di Jawa Timur ada 5 dari 9 Walisongo: Sunan Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri di Gresik, Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Drajat di Lamongan, Sunan Bonang di Tuban. Di Jawa Barat (Cirebon) ada satu, yaitu Sunan Gunung Jati. Nah, tiga tersisa ada di Jawa Tengah dan lokasinya saling-berdekatan, yaitu di Kadilangu (Demak), Kota Kudus, dan Gunung Muria. 


Saat tiba di Kadilangu, orang-orang masih banyak yang melek. Tapi, begitu saya menyusuri koridor pertokoan, gang menuju makam, banyak sekali toko yang tutup, bahkan cenderung sepi. Saya kira, ini bukan soal karena kala itu sudah pukul sebelas malam, tapi karena pandemi. Dengan berkurangnya jumlah pengunjung, maka itu artinya peredaran uang para palaku bisnis, terutama para pedagang sovenir di lokasi makan akan turut menurun. Kasihan, sih, tapi mau bagaimana lagi? Kiranya, baik kita luangkan waktu untuk berpikir, bahwa kesehatan, kenyamanan, ketenteraman dan semua nikmat yang kita rasakan dalam rentang waktu yang lama, pada akhirnya, atau pada suatu waktu, akan hilang dan kita tidak berdaya untuk tertus menggenggamnya. 

Selepas mengaji di makam, eh, ternyata Mas Anto malah mau ikut kami, melanjutkan perjalanan dan tidak jadi balik ke Temanggung seperti rencananya sore tadi. “Tanggung,” katanya, “Saya ikut ke Sunan Muria dan ke Sunan Kudus saja,” imbuhnya.

Maka, lanjutlah kami ke Kudus, lalu naik ke atas, ke Bukit Muria. Kami mendaki jalan yang sangat tinggi. Kira-kira setengah jam lebih sedikit, pukul 1.30, kami tiba di Muria.

Hal yang sama juga juga saya lihat di Muria. Bahkan, kami yang salah jalan pun (karena tidak parkir di bawah, melainkan di atas, di ujung terakhir batas jalan) tidak ada yang segera menegur karena situasi sudah sangat sepi. Toko-toko pada tutup. Tak ada pengunjung. Petugas pada tidur. Bahkan, hanya ada satu orang yang sedang mengaji di dekat cungkup. Sisanya adalah benda-benda yang beku. 

Sambil duduk, saya membaca doa. Air mata tak terasa menggenang pada kornea. “Bisa begini, ya, kehidupan fana? Semua berubah begitu cepat. Yang dulu ramai, kini sepi. Kiranya, begitulah hidup. Dulu kami ini hidup berdua dan sekarang saya sendiri. Dan saat ini, saya datang bersama teman-teman, tinggal bersama teman-teman, bergaul dengan tetangga, bermain bersama anak, namun kelak mungkin akan seperti yang lain, yang pergi duluan, pulang ke rumah keabadian seorang diri, sendirian....”

Kami akhirnya pulang, turun ke bawah, kembali ke Kudus. Di sana, situasi sama persis. Tak banyak orang berseliweran, hanya ada beberapa yang begadang di depan toko. Saya mau menghubungi Hilman—saudara saya yang rumahnya ada di belakang menara, tapi anaknya lagi ada di Semarang. Mau menghubungi Masda—suami Ning Khilma Anis—yang rumahnya hanya sepelemparan lembing dari Menoro, di Langgar Dalem, tapi mereka berdua sedang tidak di sana. Mau menghubungi Iwan yang ada di Loram, yang sebelumnya saya hubungi, merasa tidak enak karena waktunya sudah sangat larut. Maka, jadilah saya habiskan sisa malam itu di dalam masjid saja, shalat sunnah hajat sampai kaki berasa kram, sampai azan subuh berkumandang.
Setelah pagi, barulah pintu makbarah dibuka. Seingat saya, di sinilah satu-satunya makam walisongo yang ditutup di malam hari di masa pandemi.  Oh, ya, Kanjeng Sinuhun Maulana Jakfar Shadiq Sunan Kudus itu merupakan buyut daripada Kiai Muhammad Syarqawi yang notabene merupakan pendiri Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, dan juga buyut saya. Barangkali atas dasar itulah saya merasa lebih begitu dekat dan tenang di sana. 

FOTO-FOTO LAINNYA 











3 komentar:

  1. MasyaAllooh..jd ikut terharu..

    BalasHapus
  2. Serasa ikut didalam perjalanan Yai...semoga Yai senantiasa sehat dan selalu dalam lindungan dan kasih sayang Alloh SWT....aamiin..

    BalasHapus

Kopdar Triwulan di Blitar

Jarak dari rumah saya ke Blitar itu jauh. Kesannya begitu, bahkan lebih jauh daripada perjalanan saya sebelumnya, ke Banyuwangi. Tapi, ini h...