Pembaca

11 Oktober 2021

Ziarah Walisongo Plus-Plus (Etape III: Bekasi - Balaraja - Cipanas)

Sabtu Pagi ini, 9 Oktober 2021, di Bekasi, suasana alam berasa sangat bersahabat. Dulu, saya sempat menikmati perumahan ini yang lumayan sepi, lalu mulai ramai pada tahun berikutnya karena penduduk kian bertambah, dan kini kembali sepi karena situasi pandemi.

 

Siangnya, saat kami mau pergi, tiba-tiba datanglah Adi, adiknya Mas Moko. Keberangkatan pun ditunda sejenak, sejenak untuk berbasa-basi. Kami ngobrol sebentar dan setelah itu pamitan.

 

“Jangan pergi dulu, Mas. Jalan masih ramai. Summarecon sangat macet.”

“Masa?”

“Iya, barusan saya lewat di sana.”

 

Tapi, karena dorongan rasa khawatir datang terlambat di Balaraja—tujuan transit kami berikutnya—maka dengan berat hati kami tetap bergerak juga. Dan benar, “penyesalan” selalu ada di belakang (karena yang ada di depan itu—kata orang—adalah “pendaftaran”). Macet luar biasa terjadi di hadapan. Duh, kok baru berangkat sudah macet begini, padahal hari ini adalah hari libur. Anak-anak tidak sekolah dan bapak-bapak tidak ke kantor. Pada mau ke mana orang-orang ini? Mbok kalau mau pergi-pergi itu tidak bersamaan.

 

Perjalanan melewati kota Jakarta dengan mobil tua bikin saya dag-dig-dug, soalnya ini adalah pengalaman pertama kalinya naik Colt T120. Dulu, kami pernah muterin Jakarta naik Toyota Hiace. Tapi, peristiwa itu terjadi tahun 1989 dan Toyoya Hiace-nya lungsuran tahun 1982. Jadi, ia terkesan mobil jadul kalau terbaca sekarang tapi tidak pada saat peristiwa itu terjadi. Hal ini berbeda sekali dengan naik Colt buatan 1981 pada  tahun 2021.

 

Benar ternyata, saat-saat menghadapi macet, saya mengalami ketegangan luar biasa: khawatir mogoklah, apa nya macetlah, takut kampasnya gosong lah, dan sejenis-sejenis itu. Memasang AC pada Colt ini, tapi tidak dilengkapi dengan kipas tambahan di depan radiator—karena radiator yang saya gunakan sudah mengadopsi 3 lapis dan sejauh ini masih aman di kota-kota kecil di Madura—menjadi tidak berguna saat menghadapi kemacetan kota Jakarta. Menyalakan AC saat macet, temperatur langsung naik dan ogah sesera turun meskipun sudah jalan kembali. Lah, mau turun bagaimana wong jalannya pelan saja. Bahkan, panasnya aspal jalan serasa menembus lantai kabin.

 

Menempuh jarak kurang lebih 80 km butuh 4 jam untuk mencapai pintu tol Balaraja Timur. Kami tiba di sana pada menjelang mahrib, sekitar pukul 17.00. Hari sudah sore dan kami langsung menuju Bengkel Pak Tuo-nya Pak Bambang untuk istirahat dan makan. Tidak lama di sana, setelah duduk santai, mandi-mandi, kami berangkat kembali ke Cikupa, kediaman Pak Broto.

 

Di markas Colt Mania Station yang terletak di Perum Citra Raya, mobil-mobil milik tuan rumah, Mas Rezam Haji Uing, Mas Bayu, dan Buya Enjat, sudah terparkir rapi. Pak Iwah datang belakang, membawa mobil Plat M, mobil yang dulunya berwarna tosca dan sempat saya taksir saat masih ada di Kwanyar, Bangkalan, Madura, yang entah bagaimana ceritanya bisa ada di Banten.

 

Kami ngobrol dan makan di sana. Persahabatan dan persaudaran terpancar. Sungguh sebentar rasanya kami bertemu karena pada pukul 22.00, satu per satu, orang-orang pada pergi. Saya pun begitu, kembali ke Balaraja demi menghemat tenaga yang akan digunakan untuk perjalanan selanjutnya.

 

Tapi, saya bingung, mau nginap atau lanjut. Kalau mau terus ke Bogor untuk menjumpai Eko dan Sohib, berarti saya tidak bisa ke Cipanas karena pada hari Ahad pagi, jalan akses ke Puncak sudah ditutup. Kalau lewat Sukabumi, berarti ada kemungkinan bisa jumpa dengan kawan saya, Pras di Cikeas, Sohib di IPB, dan Eko di Bogor, bahkan juga dengan Kang Hendy di Sukabumi, tapi kami harus melupakan Cipanas dan keindahan trek menuju Puncak yang dibayangkan sejak bertahun-tahun yang lalu.

 

Akhirnya, palu diketuk: keputusna diambil. Kami lewat Puncak saja, dan harus melintas sebelum subuh supaya tidak terperangkap dalam sistem buka-tutup jalan aksesnya. Alasan lewat Puncak lebih diprioritaskan karena banyak hal: 1 rute lebih menantang, 2 tujuan Cipanas memang sudah lama diagendakan, 3 lebih dekat ke Bandung (sebagai tujuan lanjutan). Sementara target ke Cikeas dan ke IPB kita lupakan dulu karena; ke Cikeas sudah pernah sampai; ke IPB biarlah di lain waktu.

 

Anam dan Qudsi langsung istirahat begitu sampai di Balaraja. Saya duduk-duduk saja, menemani Pak Bambang, bercakap-cakap tentang banyak hal. Saya melek  karena khawatir kalau sekali tidur hanya dalam durasi satu jam tidak akan mampu dibangunkan oleh alarm ponsel sementara keadaan tubuh sangatlah capek. Maka, pukul 01.30, saya bangunkan mereka dan saya pamit pulang.

 

Jarak dari Balaraja ke Bogor kurang lebih 100 km, lebih jauh dari Tambun Utara ke Balajara yang kami tempuh di siang harinya.  Akan tetapi, karena menempuh Tol Dalam Kota, lanjut Kebun Jeruk dan Cawang, kami bisa menghemat waktu. Kami terus berjalan hingga jumpa percabangan jalan:

lurus ke Cikampek; kiri Priok, dan satunya ke Jagorawi. Kita pilih yang ini.

 

Dalam perjalanan tersebut, saya tidur di jok tengah. Sementara Anam dan Qudsi mengemudi.
“Sudah sampai ini, mau ke mana?” Tiba-tiba terdengar suara yang membangunkan saya. Saya pun melihat alam sekitar dan bertanya, tempat apa ini.

“Loh, kok Istana Bogor?” tanya saya.

“Lah, katanya Istana Presiden.”

“Bukan, bukan Istana Bogor, tapi Istana Kepresidenan yang di Cipanas. Kita kan mau ke Cipanas.”

“Oh, beda, ya?”

“Ayo, lanjut, pancal lagi mumpung belum Subuh.”

 

Kami putar arah, balik lagi, meneruskan perjalanan menuju Cipanas, naik ke Puncak.  Dalam pada itu, waktu menunjukkan pukul 04 lewat sekian. Azan subuh berkumandang di tengah berjalanan. Kami menyusuri ruas jalan kelak-kelok yang terus menanjak dan tak ada habisnya. Jarum temperatur seperti mati, padahal jalan menanjak. Dingin luar biasa.

 

Akan tetapi, yang aneh, di malam minggu itu, padahal hari menjelang Subuh, arus lalu-lintas masih sangat ramai. Saya tidak tahu, mereka mau liburan atau pulang dari menginap atau sekadar melintas. Yang pasti, di jam-jam menjelang subuh, suasana tetap sangat ramai, lebih ramai dari malam Minggu sehabis isya, di kota saya.

Menjelang Masjid At-Taawun, masjid keren yang ada di Puncak, tujuan kami rehat dan melaksanakan shalat Subuh, tak satu pun petak parkir yang kami temukan. Semua parkiran terisi, dari yang parkir serong maupun yang paralel di bahu jalan. Kami kecewa, akhirnya lanjut saja.

“Orang-orang ini pada ngapain, ya?” tanya saya, iseng.

“Mereka mungkin mau subuhan berjamaah semua di masjid At-Taawun,” kata Qudsi, ngomong seceplos-ceplosnya, se ndul-ndulnya.

 

Bahkan untuk parkir sejenak untuk sesi foto di tebing “Puncak Pass” saja kami gak bisa. Akhirnya, kami terus turun hingga akhirnya menjumpai Masjid Al-Ihsan, Ciloto. Cipanas tak jauh lagi.

 

Sehabis subuh, kami duduk-duduk dulu, menikmati pemandangan alam yang sungguh indah. Dalam hati saya bertanya, mengapa suasana dingin itu dicurahkan semua di sini, kok tidak sebagiannya dibagi-bagi dengan tanah kami di Madura? Ya Allah, saya tidak tahu jawabannya. Berilah kami kebahagian dalam menerima.


Semmbari mengabari Amin, tuan rumah kami berikutnya, saya pun bergerak menuju Cipnas. Jalan terus menurun akhirnya kami tiba di rumah Amin yang mengelola lembaga pendidikan, berdampingan dengan Balithi (Balai Latihan Tanaman Hias), Ciloto. Saya senang, tapi sedih karena teringat almarhumah istri saya yang sangat menyukai tanaman hias.

 

“Andai saya tahu kalau rumah kamu itu dekat dengan tempat pertanian tanaman hias ini, Min, mungkin saya ajak istri saya main ke sini, sejak dulu.”

“Iya, sayang sekali...” balas Amin.

“Duh, saya jadi terharu, nih. Semoga beliau senang di sana, di taman yang lebih indah dari taman yang ada di dunia,” Saya membatin di dalam hati, mendoakannya.

 

Kami segera menggeletakkan di diri di ruang pembelajaran yang tampaknya digunakan untuk anak PAUD. Suhu udara membuat kami sangat nyaman. Indah sekali tempat ini, kata saya tak henti-henti. Urat syaraf yang nyaris semalam suntuk dibuat memelototi lampu-lampu dan hitamnya aspal jalan raya saatnya diregangkan. Begitu pula sebaliknya, mata ini, mata yang digunakan untuk menyaksikan cahaya hidayah pada muka orang-orang yang bershalat jamaah dan juga gelap hati mereka yang tidur seranjang bersama orang yang bukan pasangannya entah di villa mana, sebaiknya segera direspon agar menghidupkan akal pikiran.

 
































2 komentar:

  1. Puji syukur Alhamdullilah akhirnya eatape single touring BBC berjalan lancar dengah penuh tantangan sampai oe gubuk ota atik pak tuo,sensasi mengaspal dgn 0 sampai 5 km/jam selama 4 jam temtu membawa nyali tersendiri,matursuwun dan trimakasih banyak kpd pak kyai beserta mas anam dan pa qudsi...kami selalu menanti touring sesi ke 2 nya.salam sehat selalu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sejauh ini, saya pakai AC dalam kondisi macet masih normal selagi itu di Madura, macet sekitar 3 sampai 5 menit, tapi di Bekasi, ha, ha, ha, ampun deh, sak lantai-lantainya ikutan panas

      Hapus

Kopdar Triwulan di Blitar

Jarak dari rumah saya ke Blitar itu jauh. Kesannya begitu, bahkan lebih jauh daripada perjalanan saya sebelumnya, ke Banyuwangi. Tapi, ini h...