Pembaca

08 Oktober 2021

Ziarah Walisongo Plus-Plus Naik Colt (Etape I : Sumenep - Semarang)

Kamis, 30 September  - 1 Oktober 2021

Melakukan perjalanan hampir 1000 km, seperti dari Sumenep ke Poris (Tangerang), bukanlah perjalanan jauh bagi yang tiap hari melakukannya, bahkan terasa biasa saja bagi bis-bis yang memang rutenya ulang-alik ke/dari sana, tiap hari pula. Akan tetapi, bagi saya, perjalanan dari Guluk-Guluk ke Pekalongan, akan menguras ketegangan dan keletihan sebab yang saya naiki adalah mobil tua, Colt T120, bukan Venturer atau Elgrand atau Caravelle, dan untuk pertama kalinya.

 

Hari Kamis pagi, 30 September 2021, saya berangkat menuju Sunan Ampel, Surabaya, via jalur utara pulau utara Madura. Mengapa lewat utara? Sebab saya menghampiri Qudsi, salah satu penumpang yang mendadak mau ikut karena menggantikan penumpang yang gagal berangkat. Qudsi sebetulnya juga tidak bisa ikut karena belum siap. Saya kasih pilihan, sambil dia berkemas, saya akan berangkat lewat utara. Cara ini akhirnya disepakati.

Dari Rubaru, kami berangkat bertiga (saya, Qudsi, dan Habib) ke arah barat, melewati Pasongsongan, Sotabar, Ketapang, Arosbaya, dan bergabung dengan Jalan Nasional 21 di Tangkel, akses ke jalan Suramadu. Kami bertemu dengan Anam di parkiran Sunan Ampel, Jalan Pegirian, parkiran sebelah timur.

Judul perjalanan kami kali ini adalah “Ziarah Walisongo ++” (baca plus-plus; artinya, perjalanan ziarah Walisongo ditambah sowan dan juga ziarah ke makam yang lain serta berkunjung ke rumah teman-teman untuk silaturahmi). Secara adab, tujuan pertama mestinya ke Maulana Malik Ibrahim sebagai wali tertua di antara sembilan lainnya. Tapi, karena secara teknis agak ribet, saya akhirnya memilih Raden Rahmatullah Sunan Ampel untuk menandai ziarah yang oertama.

Ziarah ini sudah lama terencana, tapi makin kuat pada saat mendiang istri saya, Almarhumah Makkiyah binti Ashim yang wafat 52 hari sebelum keberangkatan ini, menyatakan ingin ziarah walisongo bersama saya kalau saja masih diberi umur panjang. Tapi, takdir berkata lain. Ia wafat 10 Agustus yang lalu, bertepatan dengan malam hari Tahun Baru Hijriyah, 1443. Setelah mengatur jadwal dan mempersiapkan dana serta mobil, akhirnya, perjalanan ini baru terlaksana di penghujung September 2021


Perjalanan lewat tol Trans-Jawa kali ini adalah yang terjauh. Jika sebelumnya saya pernah masuk Waru Gunung dan turun di Colomadu, kali ini lebih jauh lagi, yaitu di Gerbang Tol Krapyak Semarang. Tujuannya adalah Marwini yang tinggal di Permata Puri, Ngaliyan. Beliau ada dosen di UNDIP dan istrinya dosen UIN Walisongo, pasangan yang pas.

 

Daerah Ungaran, jalan menanjak yang sangat panjang membuat saya sadar, sepertinya, kampas kopling Colt ini tidak sempurna. Derum mesin lebih besar daripada tenaga yang dihasilkan. Dari tadi, dari Sidoarjo, di trek yang lurus, mobil masih bisa lari kencang, tapi rata-rata kecepatan 80 kilometer per jam dan hanya sesekali mencapai 90 atau 100.


Kepada Anam yang tadi kebetulan ambil jatah mengemudi dari Surabaya sampai tempat peristirahatan 519-B di Ngawi, saya selalu mewanti-wanti agar kecepatan tidak lebih dari 80 km per jam saya, “Sayang, disayang-sayang, dieman-eman mobilnya. Saya masih mau pakai mobil ini lebih lama supaya tidak perlu membeli Venturer,” kata saya berkelakar.

 

“Jangan-jangan kampas kopling sudah aus,” kata saya

“Bisa jadi,” jawab Anam. “Kayaknya kalau sampai rumah, ini harus segera diganti, eman-eman.”

“Wajar, sih, sudah sangat lama dipakai melulu. Dan sialnya, saya lupa tidak dicek sebelum berangkat, soalnya saya tidak menyangka kita bakal menghadapai tanjakan-tanjaka panjang seperti ini,” balas saya memberikan alasan.

 

Tujuan di Semarang adalah rumah Marwini. Kepadanya, saya berpesan, pesan yang bersyarat.

“Saya mau mampir ke rumahmu asal kamu pijetin saya, kata saya bergurau, sehari sebelum berangkat.
Dan Marwini pun bersemangat, berjanji untuk menunaikannya, tapi mungkin karena pertemuan yang tidak diduga itu, bahagia luar biasa membuat dia maupun saya melupakan pijat-memijat tubuh. Kami sibuk pada urusan yang lain, santap-menyantap makanan.

Supaya sama-sama bisa dikunjungi, saya harap Jenengan bisa bermalam di rumah saya, kata Syamsul yang mengaku lebih dekat dengan jalan tol daripada Marwini. Maka, setelah mandi dan makan malam, kami pamit kepada tuan rumah dan bermalam di rumah Pak Syamsul yang tinggal di Beringin, Ngaliyan. Benar memang, rumahnya bersebelahan dengan jalan tol, bukan dengna pintu tol. Jadi, sama saja jauhnya dengan pintu tol. Ah, ada-ada saja guyunan mereka itu.

Malam itu, kami kecapekan. Habib dan Anam sudah tidur. Saya menyusul. Syamsul dan Munir masih menemani Qudsi bercakap-cakap. “Jangan keasyikan, kita harus punya energi untuk perjalanan besok pagi, ke Pekalongan dan lanjut Bekasi, kata saya mengingatkan.


8 komentar:

Kopdar Triwulan di Blitar

Jarak dari rumah saya ke Blitar itu jauh. Kesannya begitu, bahkan lebih jauh daripada perjalanan saya sebelumnya, ke Banyuwangi. Tapi, ini h...