Pembaca

13 Februari 2022

Seribu Kilometer untuk 500.000 Kilometer (Etape I)

 

JUMAT, 4 Februari 2022

 

angka odo sebelum berangkat

Berangkat Jumat pagi ke Situbondo membuat saya harus merancang shalat Jumat di jalan. Cerita akan berbeda andaikan saya berangkat malam Jumatnya (maka saya akan mengganti Jumatan dengan zuhur-jamak-ashar dan waktunya relatif lapang). Maka, diputuskanlah Kwanyar sebagai tujuan transit: istirahat dan shalat karena saya memperkirakan tiba di sana pada pukul 11 kurang. Ternyata benar, pukul 10.40, kami sudah sampai. Masih ada waktu untuk qailulah (tidur sebentar) karena saya memang mengantuk.


Gak tahunya, tuan rumah, H. Syaiful Bahri, membuyarkan rencana itu. Dia ajak saya mengobrol, dari sebelum shalat dan berlanjut bakda Jumat. Akhirnya, saya pergi meninggalkan Kwanyar menjelang pukul 14.00 dalam keadaan masih mengantuk karena tidak sempat istirahat. Saya lewat Sukolilo, tembus Labang, dan turun, langsung ke Jembatan Suramadu.



Untunglah, saya bisa membayar rasa kantuk tersebut di Jungkir Balik, sebuah kafe yang terletak persis di sebelah barat stadion Delta Sidoarjo. Ini terpaksa dilakukan karena saya sudah tak tahan. Saya bayuangkan, andaikan ada orang yang memvideo, langkah saya pasti lucu: seseorang masuk ke kafe tapi membawa bantal kecil, tidak pesan kopi, malah mau tidur.


Kepada salah seorang pelayannya yang nongol duluan (yang agaknya tahu saya karena saya memang agak sering ke situ) saya sampaikan maksud dan tujuan saya datang.


Mbak Lia ada?” Saya berbasa-basi.

Belum datang,” jawabnya setelah membuka pintu.

Oh, anu... Mas, saya cuman mau numpang istirahat.”

Oh, iya. Silakan.”


Lalu, saya membalas senyumannya sembari melenggang sebelum ditawari minuman kopi atau nge-bakso.


Di lantai tiga (lantai duanya kedai Bakso Cak To), teradapat mushala. Di situlah saya telentang dan dalam sekejap saja sudah terpejam. Satu jam berselang, kira-kira pukul 16.25, saya bangun dan langsung mancal mobil menuju ke timur, masuk tol lagi, turun di Grati, bayar mahal, dan tidak gratis.


Dalam perjalanan kali ini, saya ditemani Kak Fadlillah. Ya, kami hanya berdua. Penumpang lain gagal ikut karena alasan satu dan dua, eman-eman, sih, sebenarnya. Lalu, karena terasa mulai lapar, mampirlah kami di sembarang warung. Yang tampak pertama setelah kami ambil keputusan adalah adalah Warung Sinto, warung rawon semboyannya. Lokasinya di sekitar Dringu, timurnya kota Probolinggo. Saya kurang ahli dalam kuliner, jadi mending tidak usah komentar saja soal rasanya, kayak rawon pada umumnya. Sebetulnya, saya mau melipir di Warung Kencoer yang beberapa bulan sebelumnya tutup dan kini buka kembali meskipun agaknya ganti manajemen. Kenapa gak jadi? Saya juga gak tahu dan tidak ingat, kenapa tidak jadi.


Perjalanan ke timur terbilang lancar, tersendatnya cuman sedikit. Jumat sore dan malamnya, suasana jalan selalu pada umumnya, ramai. Para kelas pekerja perantauan angkatan PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad) akan melakukan ritual nyambang anak-istri pada sore hari atau malamnya. Mungkin sebab inilah kami baru tiba di PP Is’aful Mubtadiin,  Desa Lamongan, timurnya SKB Arjasa, pada pukul 21.30. Agak malam tak apa-apa karena saya senang sekali bisa jumpa dengan anak kedua saya yang sudah 4 bulan tinggal di sana (ceritanya nanti ada di blog ini, di postingan yang berbeda, dan saat ini masih ditulis).


2 komentar:

  1. Pak maaf apakah betul foto pertama itu adalah odo sebelum berangkat? Angkanya kok sudah 500 ribu lebih, bukankah angka 500 ribu itu baru tercapai dalam perjalanan ini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas koreksinya. Betul, foto itu mestinya dikasih caption : odo setelah tiba kembali di rumah. Jadi, jarak dari Paiton (km 500.000) itu ke rumah saya kira kira segitu, 280-an km

      Hapus

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...