Pembaca

13 Februari 2022

Seribu Kilometer untuk 500.000 Kilometer (Etape III)

AHAD, 6 FEBRUARI


Pagi hari Ahad tak ubahnya Sabtu malamnya, masih lanjut ngobrol, tempat yang sama, seolah-olah itu kelanjutan tadi malam yang dipisahkan oleh fase tidur sebentar. Masih di tempat Hariri, kali ini datang tambahan: Pak Muqiet dan Pak Taufiq. Mereka menemani saya ngobrol pagi itu. Betapa terhormatnya sampai-sampai saya merasa rikuh. Obrolannya tidak serius, melainkan haha dan hihi. Itulah tema kesukaan kami semua.


Setelah disuguhi sarapan yang lebih tampak sebagai prasmanan besar di malam hari atau gala dinner, saya pamit, tapi masih dicegat oleh Pak Muqiet.


Tolong mampir ke rumah meski sebentar.”

Tapi, saya agak terburu-buru,” kelit saya.

Sebentaaar saja, berdiri di depan pintu pun tidak apa-apa. Yang penting, kunjungi rumah kami, sebentar saja supaya kami juga dapat berkah yang dibawa tamu.”





Undangan dipenuhi dengan syarat tak lebih dari secangkir kopi. Sewaktu kami ngobrol (lagi) di kediaman mantan Wakil Bupati Jember tersebut, eh, ternyata, di belakang, mobil saya dicucikan. Seorang lelaki paruh baya tampak menyemprotkan air dan mengelap bodi mobil. Waduh, ini jebakan, tapi asyik juga, sih. Rupanya, begitulah cara beliau membuat kejutan.


Dari Karangharjo, saya menuju Sempolan, pertigaan jalan raya Jember-Banyuwangi. Saya ikat janji dengan Kak Fadlillah di sana. Pas! Kami bertemu dan hanya sebentar dalam selisih waktu. Sebetulnya, saya juga ingin mampir di Suren untuk bertandang ke rumah Lora Miftah, tapi kata kabar tersiar, beliau kurang sehat dan masih butuh istirahat. Jadi, rencana bertemu dengan beliau gagal ditunda.


Dari situ, kami meluncur ke timur, menuju perkebunan pinus di Garahan untuk menghadiri kopdar Triwulan Komunitas Colt Jember (JCL). Istilahnya, sekalian mampir mumpung saya memang hendak melintasi Gumitir.


Kopdar Colt JCL ini, kabarnya, dilaksanakan tiap tiga bulan sekali. Tapi, selama dua tahun terakhir kosong karena pandemi. Untuk kopdar pertama setelah lama diem-dieman, mereka buat pengumuman di Facebook. Saya menyatakan bersedia hadir karena memang ada rencana ke Jawa. Hukum “sekalian” dan “mumpung” pun berlaku. Eman-eman jika datang untuk satu kepentingan padahal bisa nambah untuk kepentingan yang lain. Maka, saya ikut pepatah: “sekali ngegas dua-tiga kota terlampaui”.


Dalam acara itu, hadir teman-teman Jogja, Kediri, Malang, juga Surabaya. Lainnya saya kurang tahu. Tapi, yang paling banyak jelaslah yang dari Jember dan Banyuwangi, kebanyakan mobil bak terbuka. Acara resminya sebetulnya tidak lama, satu jam tak sampai. Tapi, orang-orang tidak segera bubar. Sebagian menyelenggarakan rapat untuk acara mendatang, sebagian lagi mandi, atau bersepada, atau main ATV (memang ada persewaannya, termasuk anak saya ikut main). Sebagian lagi entah pada ngapain saja. Entahlah.


Sekitar pukul 13.00 lewat, saya meninggalkan lokasi, berbarengan dengan beberapa mobil yang keluar. Rombongan Jogja sudah pergi dari tadi. Saya belok kiri, yang lain belok kanan.


Tak jauh dari tempat itu, Colt langsung menghadapi tanjakan mengular, Gunung Gumitir. Ini jalan memang paling asyik suasananya. Tapi, sekarang tidak seserem dulu. Waktu kecil, saya sering lewat jalan ini, ketika kendaraan tak seramai sekarang. Dulu, kalau malam, mobil-mobil yang mau melintasi hutan ngumpul lebih dulu di Garahan. Setelah ada beberapa, baru mereka konvoi lalu mulai jalan bersama-sama. Kenapa begitu, adakah mereka takut hantu hutan atau takut perampok, wallahu a’lam.


Lepas hutan, masuk Kalibaru. Dari spion kanan, tampak ada dua Colt yang membuntuti. Saya sein kiri supaya mereka menyalip, namun mereka tetap di belakang. Akhirnya, saya paham. Rupanya, mereka mengawal, mengiringi. Dan ketika saya telah tiba di tempat persinggahan, Majlisus Sa’adah, Wadung, Glenmore, untuk menyambangi sepupu saya, tiba-tiba Colt station berhenti juga (yang pikap lanjut). Loh, ternyata, yang nongol adalah Mas Agus Supriady (beliau ini beberapa kali membeli buku sama saya). Maka, terjadilah perbincangan sekejap. Lain waktu, saya ingin bincang lebih lama dengan dia, tidak di tepi jalan, tapi di suatu tempat yang lebih nyaman. Kapan itu? Saya tidak tahu.


Cik, aku cuman mau numpang tidur sejenak, ndak usah repot-repot,” kata saya pada si sepupu yang perannya saat itu adalah sebagai tuan rumah. Itu ucapan serius, bukan basi-basi.

Iya, Kak, silakan,” jawab si Locik yang bernama asli Yazid lebih datar lagi.


Tapi setelah kurang lebih satu jam tidur, saya bangun dan tiba-tiba saya melihat makanan yang sudah disediakan. Basa-basi gagal, ternyata saya diperlakukan sebagai tamu beneran. Ya, terlanjur ada, diembatlah itu si nasi dan si ikan dan si lauk-pauk lainnya.


Dan seperti yang sudah saya sampaikan di awal kedatangan, sesuai S.O.P, saya langsung pamit pergi, melanjutkan perjalanan ke timur. Masih ada dua titik persinggahan yang harus disamperi, padahal rencana pulang ke Madura adalah malam nanti? Mungkinkah?


BustanulMakmur II itu masuk ke utara, Kak,” kata Yazid yang saya panggil Locik.

Ke utara di mana?”

Pokoknya, nanti setelah sampai Genteng, Kak Izi bakal ketemu dengan tiga lampu merah. Nah, setelah lampu merah yang ketiga itu ada jalan masuk ke utara, belok kiri. Letaknya di belakang kampus Ibrohimi.”

Baik, pasti ketemu.”


Tujuan ke Bustanul Makmur adalah untuk mengunjungi Rifki dan adiknya, Afthon Dhani. Kedua saudara ini adalah sepupu persis almarhumah istri saya (juga famili saya). Keduanya sedang menjalani guru tugas dan desainer di pondok yang didirikan oleh Kiai Saifuddin tersebut. Sore itu, Dhani sedang ngajar dan Kiki sedang keluar. Saya menunggu. Setelah bertemu Dhani, baru Kiki datang menjelang maghrib. Kejutan baru terjadi. Ternyata Kiki—panggilan Rifki—baru pulang dari Bustanul Makmur Pusat. Dia mengatakan bahwa saya sempat dirasani Gus Endi. Terpancing oleh itu, akhirnya kami pergi ke sana.


Maka, bertemulah kami di Bustanul Makmur Pusat yang ternyata memang merupakan kediaman Gus Endi. Saya bertemu beliau di Buleleng, dua tahun lalu, di rumah sepupu beliau, pamanda Ahmadul Faqih Mahfudz (yang secara nasab merupakan sepupu Gus Endi dari jalur ayahnya; merupakan paman saya dari jalur ibu saya yang nyambung melalui embah putrinya. Tapi, Gus Endi ternyata bukan paman saya karena beliau berada di jalur nasab yang berbeda). Di sana, kami juga bertemu dengan Gus Imdad dan Gus Nawal serta seorang temannya dari Jember. Pertemuan yang kurang tepat secara waktu—karena habis maghrib—itu sangat gayeng sehingga sempat membuat saya lupa diri, lupa bahwa masih ada satu titik tersisa yang harus disingghi.


Karena saya tidak menggunakan Google Maps, maka saya tidak bisa memperkirakan jarak. Makanya, saya terkaget-kaget karena ternyata rute Genteng – Banyuwangi itu sangat jauh, lebih-lebih malam itu gerimis dan jalan sangat padat, ditambah rutenya tidak akrab. Begitu membosankan, tapi saya jalani saja dengan santai. Bonusnya adalah salah jalan di Banyuwangi. Saya sempat muter-muter beberapa kali dan baru berhasil mengakses kembali Jalan Nasional ke arah Ketapang setelah buang jarak dan buang waktu kurang lebih 15 menit lamanya. Itu buang-buang jika mengingat saya sedang kejar waktu ingin sowan ke Kiai Fadlurrahman, tapi itu juga tambahan pengalaman sebab akhirnya saya jadi tahu tempat-tempat yang semua tidak pernah saya lewati.


Terus, bagaimana cara saya agar tahu jalan masuk ke pondok pesantren asuhan Kiai Fadol (panggilan masyarakat terhadap Kiai Fadlurrahman Zaini) itu sementara congap (pertigaan jalan masuk)-nya sangat tersembunyi? Yang saya lakukan adalah menelepon adik agar mengecek jarak dari Pelabuhan Ketapang ke congap yang mengarah ke pondok beliau, PP Al-Abror Ar-Robbaniyun.


18 kilometer,” katanya.

Pas?”

Iya.”


Saya pun menginjak gas tanpa ragu dan baru kembali memperhatikan pergerakan odometer mobil setelah odo mencapai 17 km. Setelahnya, barulah saya mencari jalan masuk ke arah kanan, ke timur, ke arah pondok, eh, ternyata masih larat juga. Masih untung ada tukang sate yang menyelamatkan. Saya bertanya kepadanya. Kata dia, saya kelewatan sekitar hampir satu kilometer. Barangkali, tukang sate itu sudah lama sekali tidak bertemu dengan orang yang bertanya lokasi karena orang-orang pada pakai aplikasi (setelah tiba di rumah dan menulis catatan perjalanan ini, saya cek di Google Maps melalui PC, ternyata jarak dari pintu pelabuhan Ketapang ke congap itu cuman 16 kilometer. Adik saya sepertinya salah paham karena angka 18 kilometer tersebut adalah jarak dari pintu pelabuhan ke pondok Nurul Abrorar-Robbaniyyin, bukan ke congap).


Sowan ke Kiai Fadlurrahman Zaini di malam itu gagal. Kata petugas, sepertinya waktu sudah kemaleman untuk bertamu. Jam menunjuk 21.30. Memang iya, sih. Mereka memberi saran agar kami bermalam. Saya berterima kasih karena itu tidak mungkin. Tak apa-apa, semoga lain waktu kami bisa ke situ. Sebelum pergi, sempat terlintas kenangan terakhir di tempat itu bersama mendiang istri saya, melintasi khayalan. Saya ingat sowan terakhir kami dua tahun yang lalu. Di sana, kami disambut dengan penuh kehangatan (dan ...ah, tapi saya jadi sedih).


Perjalanan diteruskan ke Arjasa setelah kami singgah sejenak di sebuah kedai, di Galekan. Menghubungi nomor Moeftin Nadzir tapi tak aktif, ya sudah, lanjut saja. Hujan lumayan deras. Sempat saya gelagapan di dalam hutan Baluran. Saya deja vu, ingat kejadian serupa 12 tahun yang lalu. Tapi, kali ini lebih mencekam karena dua kali lampu depan mati mendadak lalu hidup kembali. Kak Fadlillah mengaku cemas atas kejadian itu (tapi ia sampaikan setelah tiba di Madura). Mungkin, mati lampu dianggap isyarat kurang baik. Tapi, bagi saya tidak karena saya tahu persoalannya. Kejadian mati lampu mendadak memang sudah terjadi sebelumnya, beberapa kali, tapi belum ketemu masalahnya. Baru setiba di Asembagus lah saya tahu. Ternyata, penyakitnya adalah penjepit sekring tabung goyah, bukan relay lampu yang karatan seperti yang saya duga sebelumnya.


Akhirnya, saya tiba di Arjasa dalam keadan penat tak berdaya. Rencana mau lanjut malam itu juga digagalkan. Sebetulnya, saya bisa tidur sejenak, bangun, dan langsung berangkat. Tapi, bukan itu alasannya, bukan capeklah alasan terbesarnya, melainkan karena saya tak ingin pagi esoknya anak saya bangun dan menemukan saya tak ada lagi dari sisinya.


Besok saja, Kak,” kata saya pada Kak Fadlillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...