Pembaca

13 Februari 2022

Seribu Kilometer untuk 500.000 Kilometer (Etape IV)

SENIN, 7 FEBRUARI

 

Pagi sekali, rencananya bahkan sehabis subuh, kami pulang. Tapi, saya ingat, ini hari Senin. Saya harus mulang kitab dulu (melalui sambungan telepon kalau sedang berada di tempat yang jauh). Maka, setelah pukul 06.30, setelah tugas, saya pamit. Eh, malah tak boleh sama tuan rumah. “Makan dulu,” katanya. Itu sudah saya duga dan biasanya emang begitu. Dalam hal ini, pepatah “tamu bagaikan mayat” berlaku. Artinya, tamu harus mau dititah tuan rumah.


Setelah makan, obrolan masih berlanjut. Waduh. Akhinya, saya baru bisa pamit pukul 08.30, banyak waktu molor dari yang direncanakan sejak awal. Biarlah, saya pasrah, padahal sudah saya bilang, bahwa saya buru-buru karena malam nanti ada undungan menghadiri Haul Gus Dur di Sumenep.


Meskipun masih harus mampir di Klathakan untuk ambil titipan dari Ummah untuk saudaranya di Madura, saya bawa mobil santai saja. Ruwet pikiran melihat seliweran orang begitu banyak yang serampangan. Untuk menghemat waktu, saya cuman numpang pipis saja saya di sana, tak mau disuguhi kopi, lalu melanjutkan perjalanan.


Mulai dari Bletok, barulah saya bisa melaju agak kencang, lebih cepat dari tadi, kira-kira 70-80 (padahal sebelumnya cuman 60) karena jalan sudah mulai rada lengang, mungkin karena gerimis. Di satu sisi, gerimis membuat jalan lengang, tapi jalan jadi berbahaya. Kalau terang, semuanya jadi enak, pandangan juga serlah, tapi lalu lintasnya ramai. Paling enak kalau lewat jalan tol, gerimis pun masih bisa kencang. Enak pun ternyata masih ada “tapi”-nya juga: tapi di tol itu membosankan dan harus membayar mahal. Apa-apa itu ternyata ada plus-minusnya.


Cling!


Hingga akhirnya, saya teringat sesuatu dan saya menepi di ruas jalan tempat istirahat, di atas Binor, atasnya PLTU Paiton.


Kenapa?”

Mau nyuting odometer, ini mobil mau sampai 500.000. Saya mau pinjam ponselnya,” kata saya sama Kak Fadlillah.


Akhirnya, saya mulai menjalankan mobil lagi, pelan saja. Odomter mobil bergerak dari angka 499.997/2 dan mencapai angka 500.000 saat mobil berada di sisi selatan PLTU Paiton. Horeee. Saya senang sekali, tapi senang untuk apa sebenarnya. Saya yakin, angka itu bukanlah angka sejati. Odometer pernah mengalami putus. Di kepemilikan sebelumnya, bisa jadi hal yang sama juga terjadi, bahkan bisa saja pernah direset, pernah di-nol-kan ulang. Tapi, mana saya peduli. Apa pun dan bagaimanapun, pada momen itu, saya tetap mencatatnya sebagai sebuah momen penting dalam kesejarahan mobil ini di bawah kepemilikan saya selama 13 tahun terakhir.

 

Di Pajarakan, saya dikontak Iyok Fakhrud. Dia bilang baru saja berpapasan. Saya man tahu dia naik apa. Sebelumnya juga begitu, sempat diberhentikan Subhan di Lubawang, sebelah barat Besuki. Itulah salah satu keuntungan mobil tua yang warnanya tak pernah diganti dan ada stiker khusus yang memudahkan orang mengenalnya: font besar bertulis “Pariwisata” di atas kaca depan. Semua ini tak akan terjadi andai saya naik Avanza Hitam atau mobil orang kebanyakan lainnya.


Perjalanan terus saya lanjutkan karena badan masih terasa mampu. Hujan mengguyur secara gila saat kami lewat Tongas, bahkan sampai Bangil. Mobil-mobil berjalan sangat lambat sambil menyalakan lampu utama. Kali ini, saya memang tidak lewat tol karena jalanan terbilang sepi. Eman-eman uang 80 ribu dikeluarkan untuk sesuatu yang tidak penting-penting amat (beda dengan saat berangkat karena lewat tol memanglah dibutuhkan).


Di Tangkel, sehabis adzan asar, saya berhenti sejenak untuk mengambil kiriman dari adik kandung kepada ibu di rumah (saya tidak masuk ke rumahnya karena butuh jarak 20 kilometer pergi-pulang dan itu jelas makan waktu jika dilakukan, sementara saya ngejar waktu untuk hadir ke acara di Sumenep pada malam harinya). Selagi nunggu kiriman, tiba-tiba seorang anak muda bernama Dayat menghampiri saya. Oh, rupanya dia juga punya Colt. Katanya, dia melihat Colt saya dari jarak agak jauh sedang parkir, maka dari itu ia kemudian mampir.


Jalan lagi, sebentar saja, saya shalat zuhur-asar di Masjid Baiturrohman,Dumajah. Di situ, saya ketemu dengan Kiai Fauzan Badruddin. Di mana-mana kok ketemu kenalan, kata saya dalam hati. Betapa banyaknya orang baik di dunia ini.


Tak lama di sana, kami lanjut lagi, tapi berhenti lagi di Sampang karena sudah tak tahan lapar. Depot Al-Ghozali, di Tanglok, lepas kota Sampang, adalah tempat jujukan. Kami makan rawon di sana. Tak lama juga, makan, bayar, pergi lagi. Kami lanjut ke timur.


Setelah menurunkan ‘paket’ dari Klathakan di pertigaan Sumber Anyar, masih ada waktu tersisa untuk menjamak shalat maghrib-isya di Masjid Nurul Falah, selatan SPBU dekat Talang Siring. Sama seperti sebelum-sebelumnya, setiap kami singgah hanya benar-benar sesuai waktu yang dibutuhkan, tak ada santai-santai dulu. Seperti itu pula pada persinggahan terakhir: habis shalat, langsung berangkat. Kami tiba di rumah beberapa menit setelah azan isya. Sambil menurunkan semua barang di mobil, saya menyeduh kopi. Tapi, hanya beberapa kali sesapan, Innova Reborn berwarna putih masuk ke halaman. Ini pertanda Om Mamak yang datang.


Oleh-oleh sudah masuk rumah. Mainan sudah diberikan ke anak. Cucian sudah diletakkan di tempatnya. Saatnya saya pergi lagi, menghadiri undangan haul. Kepada panitia sudah saya wanti-wanti sebelumnya, jauh hari: Saya cuman mau datang, duduk di kursi hadirin. Saya tidak mau menjalankan tugas lebih dari itu. Dan kebetulan, kala itu, saya memang capek, habis nyetir dari Situbondo. Makin kuatlah alasan saya.


Kami pergi ke Sumenep dengan Innova Reborn. Tujuannya adalah Kafe Tanean, sebuah kafe baru yang sangat besar, dekat Asta Pangeran Katandur. Di dalam kabinnya yang senyap, saya merasakan sedikit perbedaan dengan Colt yang baru saja saya rasakan. Empuknya tak seberapalah bedanya. Sini ada menangnya, sana ada menangnya juga. Sini menang senyap, sana menang murah. Terus, saya cari perbedaan-perbedaan lainnya. Apa, ya, kira-kira? Maksud saya, perbedaan prinsip antara Colt dengan Innova? Lalu, saya temukan hasilnya: Lari dengan kecepatan 80 kpj di atas Innova itu masih asyik buat ngobrol macam-macam, bahkan obrolan serius, politik kebangsaan misalnya. Tapi, dengan kecepatan yang sama, di atas Colt T120, kita tidak bisa ngobrol terlalu ngelantur karena sopir harus mikir soal kepakeman rem, kelimbungan bodi, serta kemungkinan pelimpasan stir. Itu dia bedanya.


Eh, sebentar, tapi, saya ingat cerita di atas. Sepanjang jalan naik Innova, dari Guluk-Guluk sampai Sumenep, bahkan andai dilanjutkan sampai ke Jakarta, tak ada satu pun yang menyapa, tak ada orang kasih lampu atau isyarat klakson, tak ada yang kenal. Kenapa? Ia tak ada identitas. Di jalanan, ia terlalu banyak kawan sejenisnya.


2 komentar:

  1. Mohon kunjungan baliknya, Kyai di penyairsenja001.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, saya kurang aktif sekarang, agak males malesan menulis

      Hapus

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...